Minggu, Oktober 19, 2008

Edisi April 2007

Ibadah Sebagai Panglima Kehidupan
OLEH : Drs. H. WAN ABU BAKAR MS, Msi



Berdasarkan introduksi al-Qur’an bahwa misi utama penciptaan manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah SWT. Misi pengabdian inilah yang akhirnya dijadikan standar untuk mengukur orang yang paling berkualitas dan sukses dalam kehidupannya dan dihargai di sisi Allah SWT. Semakin tinggi tingkat pengabdian seseorang kepada Allah SWT maka semakin besar peluangnya untuk mendapatkan kemuliaan, yang melebihi kemuliaan segala predikat keduniaan yang kita sandang hari ini.


Hal ini berarti, betapa tinggi dan banyaknya predikat dan jabatan yang melekat pada diri kita hari ini, apakah itu jabatan politik, kelebihan ilmu pengetahuan, kelebihan harta dan ekonomi, atau ketinggian derajat di tengah masyarakat, ternyata jauh lebih tinggi kemuliaan yang diberikan Sang Pencipta. Apalagi, jika kelebihan duniawi itu tidak dilandasi pengabdian kepada Allah SWT, maka semua itu tidak akan dinilai Allah SWT. Bahkan sebaliknya, akan dicatat sebagai orang-orang yang angkuh, yang tidak bernilai apa-apa di sisi Allah SWT.

Dalam hal ini, Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51, Adz Dzariyaat: 56).

Selama ini memang ada semacam pandangan mayoritas kaum muslimin bahwa ibada itu adalah menyembah Allah SWT. Ibadah itu terkait dengan amal-amal perbuatan yang berkaitan langsung kepada Allah SWT. Misalnya ibadah sholat, puasa, berinfaq, zakat, naik haji ke Baitullah, dan lain sebagainya. Pandangan ibadah seperti ini adalah benar adanya. Tetapi perlu kita ketahui juga, bahwa ibadah dalam Islam tidak hanya terbatas pada amalan-amalan yang bersifat langsung dengan Allah SWT atau hablumminallah, seperti di atas.

Tetapi jauh lebih luas dari itu, bahwa ibadah dalam Islam amat luas pengertian dan cakupannya. Ibadah juga termasuk semua perbuatan dan aktivitas manusia yang dimulai dengan niat mencari keridhoan Allah SWT itu. Itu semua bisa digolongkan ibadah dalam rangka mengabdi kepada Allah SWT. Sebagai umat islam kita harus memahami dan mengembangkan konsep ibadah yang luas seperti ini.

Berangkat dari konsep ini, kita bisa melihat bahwa semua aktivitas sosial kemasyarakatan berupa membangun masyarakat, menuntut ilmu pengetahuan, memperhatikan nasib orang sekitar, mencintai lingkungan yang bersih, mendorong sikap disiplin, bekerja keras, mencegah segala bentuk penyimpangan dalam masyarakat. Semua itu dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Dengan catatan harus dipenuhi syaratnya yaitu dimulai dengan motif menjadi keridhoan Allah SWT.

Dengan demikian, ibadah dalam Islam amat luas pengertian dan ruang lingkupnya. Lebih luas dari apa yang kita pahami selama ini. Tetapi, apabila kita simpulkan secara sederhana ibadah itu dapat kita bagi ke dalam dua katagori besar, yaitu ibadah individual (perorangan) dan ibadah sosial (kemasyarakatan). Ibadah individual biasanya tata cara dan aturan pelaksanaannya telah diatur dan digariskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an dan hadits secara rinci dan lebih lengkap.

Ibadah dalam bentuk ini tidak boleh ditambah ataupun dikurangi metode dan tata cara (kafiayat) nya. Misalnya cara pelaksanaan sholat, pelaksanaan haji dan puasa, syarat dan rukunnya telah ditentukan. Jika kita laksanakan ibadah individual-perorangan ini tidak sesuai dengan aturan-aturan yang telah digariskan Allah SWT, maka amalan itu dianggap batal dan tidak sah. Apabila sudah batal, maka tidak akan diberikan pahala oleh Allah SWT.

Jadi aturannya lebih rinci dan juga agak ketat. Sebaliknya, dalam ibadah sosial, aturan pelaksanaannya tidak dijelaskan secara rinci oleh Allah SWT dan Rasul dalam Qur’an maupun hadits. Cakupan dan ruang lingkupnya lebih luas dari ibadah perorangan. Ia meliputi segala aktivitas kehidupan manusia. Akan tetapi Allah SWT hanya mengatur dan membuat prinsip-prinsipnya saja. Ukurannya sangat sederhana saja, yaitu apakah perbuatan yang dilaksanakan itu mempunyai nilai kemaslahatan dan apakah dalam pelaksanaannya dilandasi sebuah motivasi untuk mencari keridhoan Allah SWT.

Kalau kedua prinsip ini telah tercakup, maka aktivitas itu dapat dikatagorikan ibadah dan akan dinilai Allah SWT dengan pahala yang besar. Jadi, apapun aktivitas kita di dunia ini selama tidak bertentangan denganprinsip-prinsip agama, maka memiliki muatan ibadah. Cara pandang kita terhadap ibadah seperti ini pelu kita sosialisasikan. Karena dari cara pandang inilah kita tahu bahwa ajaran Islam itu menganut prinsip keseimbangan.

Islam mengatur keseimbangan antara kepentingan individual dan masyarakat, antara hal yang berkaitan dengan urusan duniawi dan ukhrawi, antara orientasi fisik dan rohani. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk berlaku adil dan berbuat secara proporsional atau seimbang antara kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Islam sangat tidak suka terhadap orang yang mencari salah satu kepentingan sehingga melupakan kepentingan lainnya. Kalau kita telaah kitab suci yang menjadi pedoman hidup kita ini, maka akan kita jumpai banyak ayat yang menganjurkan hal keseimbangan itu. Salah satunya adalah firman Allah SWT berikut ini , “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS.28, Al Qashash : 77)

Firman Allah SWT di atas amat dalam maknanya dalam kehidupan ini. Kita umat Islam dianjurkan untuk berlomba-lomba mencari pahala untuk kebahagiaan akhirat. Tetapi Allah SWT tentunya tidak senang jika lantaran itu kita melupakan nasib kita di dunia ini. Sebaliknya juga Allah SWT amat murka jika lantaran urusan duniawi ini membuat kita lupa akan nasib kita di akhirat kelak.

Dengan demikian, ukuran berhasil atau gagalnya seseorang dalam kehidupan ini menurut Islam tergantung sejauh mana mereka meraih dua kebahagiaan itu, dunia dan akhirat.

Agaknya, spirit doa harian fi aldunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah itu akan terwujud dengan konsep keseimbangan tersebut. Inilah prinsip yang perlu kita jaga dalam Islam. Kita hendaknya memposisikan hal yang bersifat spiritual dan material secara seimbang. Antara agama dan sosial kemasyarakatan secara proporsional, dan begitulah selanjutnya.

Jika ajaran ini kita amalkan dengan baik dan benar, maka kita akan bisa hidup berkualitas di dunia ini, sekaligus mendapat jaminan kebahagiaan di kehidupan akhirat nanti. Inilah visi agama yang kita anut, yaitu kita harus mampu memposisikan diri kita antara tugas penghambaan kepada Allah SWT (abdullah) dengan amanat kekhalifahan di muka bumi ini (khalifatullah fil ardh).


Dikutip dari tulisan
Drs. H. Wan Abu Bakar MS, Msi dalam bukunya

“Menjadikan Islam Sebagai Sikap Hidup & Modal Membangun”,
Alaf Riau, 2006.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran