Kamis, September 03, 2009

Sekapur Sirih

Salam Takzim


Assalammu biakmal al-tahiyyah

Bermula dari sebuah kegetiran untuk mempertahankan zuriat Melayu yang terlihat mulai memudar di kalangan generasi Melayu saat ini, telah menyadarkan kami untuk segera melakukan suatu upaya dengan berpondasi di atas akar sejarah dan tidak bersandar pada udara hampa, dalam sebuah konsepsi kesadaran bagaimana seorang Melayu memandang dirinya dan dapat kembali merebak dalam takungan yang bermartabat.

Tapi kini, berbagai fenomena mencolok dan transparan dalam lompatan kemajuan teknologi komunikasi-informasi, telah melahirkan dunia ini laksana sebuah kampung yang mau tak mau harus siap bergumul dalam sebuah pertarungan budaya global.

Kami begitu merasakan adanya gejala kultural mulai menepinya nilai-nilai kemelayuan yang semula terpancang kokoh di jagat semesta ini kini seakan terseret ke dalam lumpur sub kultur gelanggang pertarungan era globalisasi komunikasi informasi.

Akibatnya, nilai-nilai luhur yang telah dipertontonkan oleh para pendahulu kita di masa lalu dan pernah terpatri di dalam cermin sejarah Melayu seakan bermakna usang di dalam dinamika kehidupan global dan telah membuat jarak antara masyarakat Melayu dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam kebudayaan Melayu itu sendiri.

Diakui, jauh sebelum kedatangan Islam, kebudayaan Melayu, seperti yang diungkapkan oleh Hasan Junus, tidak lebih dari sebuah kebudayaan pinggiran yang tidak memperlihatkan mutu intelektual yang mengesankan. Namun, dengan adanya kebijaksanaan Islam yang telah memilih jalan budaya tersebut, telah mampu memberikan gagasan-gagasan baru dalam kehidupan seni budaya Melayu dan membuat suku Melayu memiliki adat yang diwarnai dengan Islam.dan kokoh menjadi stamina spiritual kehidupan masyarakat dan kebudayaan Melayu.

Resa untuk mempertahankan martabat itulah yang mendorong kami untuk merintis Media Kubah Senapelan, sebuah media kumunikasi yang berorientasi kepada penyampaian syi’ar Islam dan budaya Melayu, dengan kata-kata yang sederhana, sahaja, mudah dan membumi yang disesuaikan dengan lafal Melayu. Sebuah kesadaran yang bermula dari sebuah pengakuan bagaimana mensiasati fenomena globalisasi yang dapat mempercepat pudarnya identitas dan jati diri kemelayuan kita. Karena sesungguhnya arus budaya global tak dapat dibendung hanya dengan mitos kekebalan budaya lokal semata, sehingga gesekan dan bentukan budaya pun tak dapat terelakkan.

Berpijak dari resa itulah, Kubah Senapelan akan terus berupaya sekuat tenaga untuk memanifestasi gagasan tersebut guna mewujudkan dan mengekspresikan potensi nalar dan otoritas hati, pikiran dan perasaan, dengan kata-kata yang sederhana, sahaja, mudah dan membumi, yang disesuaikan dengan lafal Melayu. Menyajikan berbagai informasi dalam koridor syi’ar Islam yang berbudaya Melayu, tak lain dikarenakan ingin mengambil peran dalam media komunikasi dan informasi di Bumi Lancang Kuning ini sebagai wujud bakti Anak Negeri.

Terlepas dari itu semua, tujuan kami tak lain adalah untuk menyampaikan berbagai tulisan ataupun informasi yang menyangkut harkat dan martabat Melayu di masa lalu dan masa kini hingga dapat mencapai masyarakat, dan bisa menjadi mata rantai yang bersambung terus dalam leretan kebudayaan Melayu dan dapat tegak anggun ranggi menjulang di langit cakrawala kebudayaan Nusantara.

Namun, sebesar apa pun usaha yang kami lakukan sesungguhnyalah bagaikan mendapat sebatang pohon dalam rimba belantara kebudayaan Melayu.

Janganlah sampai Lancang Kuning berlayar entah kemane ....

Wassalamu biakmal al-tahiyyah


Redaksi

Senin, Agustus 17, 2009

Edisi Agustus 2009

Mengenal
Kesultanan Pekantua, Kampar


Raja yang berkuasa iaitu Sultan Mahmud Syah I mengundurkan dirinya ke Muar (Johor), kemudian ke Bintan dan sekitar tahun 1526 M sampai ke Pekantua Kampar di Riau. Keadaan Pekantua Kampar saat itu juga sedang berkabung karena Raja Abdullah (1511-1515 M), raja Pekantua Kampar yang masih keluarga dekat Sultan Mahmud Syah I, tertangkap saat berjuang membantu melawan Portugis. Beliau akhirnya dibuang ke Gowa di Sulawesi Selatan.

Ketika Sultan Mahmud Syah I sampai di Pekantua (1526 M) beliau langsung dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar (1526-1528 M). 2 tahun sesudahnya beliau mangkat dan diberi gelar "Marhum Kampar". Makamnya terletak di Pekantua Kampar dan sudah berkali-kali dipugar oleh raja-raja Pelalawan. Pemugaran terakhir dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten) Pelalawan, Propinsi Riau dan pemerintah Negeri Melaka. Sultan Mahmud Syah I setelah mangkat segera digantikan oleh putera mahkota dari permaisurinya Tun Fatimah, yang bernama Raja Ali, bergelar "Sultan Alauddin Riayat Syah II". Tak lama kemudian, beliau meninggalkan Pekantua ke Tanah Semananjung, mendirikan negeri Kuala Johor, beliau dianggap pendiri Kerajaan Johor. Sebelum meninggalkan Pekantua, beliau menunjuk dan mengangkat Mangkubumi Pekantua (1530-1551 M), yang bernama Tun Perkasa dengan gelar "Raja Muda Tun Perkasa". Dan dilanjutkan Tun Hitam (1551-1575 M) serta Tun Megat (1575-1590 M).

Sejak Bila Pelalawan Wujud?

Wilayah kerajaan Pelalawan yang sekarang menjadi Kabupaten Pelalawan, berawal dari Kerajaan Pekantua yang didirikan oleh Maharaja Indera (sekitar tahun 1380 M). Beliau adalah bekas Orang Besar Kerajaan Temasik (Singapura) yang mendirikan kerajaan ini setelah Temasik dikalahkan oleh Majapahit dipenghujung abad XIV. Sedangkan Raja Temasik terakhir yang bernama Permaisura (Prameswara) mengundurkan dirinya ke Tanah Semenanjung, dan mendirikan kerajaan Melaka.

Maharaja Indera (1380-1420 M) membangun kerajaan Pekantua di Sungai Pekantua (di anak sungai Kampar, sekarang termasuk Desa Tolam, Pelalawan, Riau) pada tempat bernama "Pematang Tuo" dan kerajaannya dinamakan "Pekantua". Selain itu Maharaja Indera membangun candi yang bernama "Candi Hyang" di Bukit Tuo (lazim juga disebut Bukit Hyang), namun sekarang lebih dikenal dengan sebutan "Pematang Buluh" atau Pematang Lubuk Emas, sebagai tanda syukurnya dapat mendirikan kerajaan Pekantua. Raja-raja Pekantua yang pernah memerintah setelah Maharaja Indera adalah Maharaja Pura (1420-1445 M), Maharaja Laka (1445-1460 M), Maharaja Syesya (1460-1460 M). Maharaja Jaya (1480-1505 M).

Selanjutnya Menjadi Wilayah Melaka Pekantua semakin berkembang, dan mulai dikenal sebagai bandar yang banyak menghasilkan barang-barang perdagangan masa lalu, terutama hasil hutannya. Berita ini sampai pula ke Melaka yang sudah berkembang menjadi bandar penting di perairan Selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas, oleh karena itu Melaka bermaksud menguasai Pekantua, sekaligus mengokohkan kekuasaannya di Pesisir Timur Sumatera. Maka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459-1477 M), dipimpin oleh Sri Nara Diraja, Melaka menyerang Pekantua, dan Pekantua dapat dikalahkan. Selanjutnya Sultan Masyur Syah mengangkat Munawar Syah (1505-1511 M) sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa Kerajaan Pekantua berubah nama menjadi "Kerajaan Pekantua Kampar" dan sejak itu kerajaan Pekantua Kampar sepenuhnya berada dalam naungan Melaka. Pada masa inilah Islam mulai berkembang di Kerajaan Pekantua Kampar.

Setelah Munawar Syah mangkat, diangkatlah puteranya Raja Abdullah, menjadi Raja Pekantua Kampar (1511-1515 M). Disaat inilah Melaka jatuh ke Portugis, dan Sultan Melaka (Sultan Mahmud Syah I) mengungsi ke Pekantua Kampar hingga wafatnya.

Setelah Johor Wujud (Menggantikan Melaka) maka…

Ketika dipimpim oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II, Raja Pekantua Kampar) kerajaan Johor telah berkembang pesat. Oleh karena itu Tun Megat, merasa sudah sepantasnya untuk mengirim utusan ke Johor untuk meminta salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi rajanya. Setelah mufakat dengan Orang-orang Besar Pekantua, maka dikirim utusan ke Johor, terdiri dari: Batin Muncak Rantau (Orang Besar Nilo dan Napuh), Datuk patih Jambuano (Orang Besar Delik dan Dayun), dan Raja Bilang Bungsu (Orang Besar Pesisir Kampar).

Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat, lalu mengirimkan salah seorang keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi Raja Pekantua. Sekitar tahun 1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja Dinda" (1950-1630 M). Terhadap Johor, kedudukannya tetaplah sebagai Raja Muda Johor. Sebab itu disebut juga "Raja Muda Johor di Pekantua Kampar". Tun Megat yang sebelumnya berkedudukan sebagai Raja Muda, oleh Raja Abdurrahman dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh Puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630-1650 M), Tak lama kemudian beliau mangkat, dan digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), yang selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Raja ini selanjutnya digantikan pula oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M).

Pekantua Kampar Berganti Menjadi Pelalawan

Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri banyak diganggu oleh wabah penyakit yang banyak membawa korban jiwa rakyatnya, namun para pembesar belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih sangat baru. Akhirnya beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), beliau segera memindahkan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri karena dianggap sial akibat wabah penyakit menular yang menyebabkan banyaknya rakyat menjadi korban, termasuk ayahandanya sendiri. Namun upaya itu belum berhasil, karena masing-masing Orang Besar Kerajaan memberikan pendapat yang berbeda. Pada masa pemerintahannya juga, perdagangan dengan Kuantan ditingkatkan melalui Sungai Nilo, setelah mangkat, beliau digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1750 M). pada masa pemerintahannya diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ketempat yang oleh nenek moyangnya sendiri, yakni "Maharaja Lela Utama" pernah dilalaukan (ditandai, dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di Sungai Rasau, salah satu anak Sungai Kampar jauh di hilir Sungai Nilo.

Sekitar tahun 1725 M, dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau. Dalam upacara adat kerajaan itulah Maharaja Dinda II mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu, maka nama kerajaan "PEKANTUA KAMPAR", diganti menjadi kerajaan 'PELALAWAN" (Pelalauan), yang artinya tempat lalau-an atau tempat yang sudah dicadangkan. Sejak itu, maka nama kerajaan Pekantua tidak dipakai orang, digantikan dengan nama Pelalawan saja sampai kerajaan itu berakhir tahun 1946. Didalam upacara itu pula gelar beliau yang semua Maharaja Dinda II disempurnakan menjadi Maharaja Dinda Perkasa atau disebut Maharaja lela Dipati. Setelah beliau mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang membuat kerajaan Pelalawan semakin berkembang pesar, karena beliau membuka hubungan perdagangan dengan Indragiri, Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk. Perdagangan dengan Petapahan (melalui hulu sungai Rasau, Mempura, Kerinci). Perdangan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri (melalui sungai Kampar) dan beberapa daerah lainnya di pesisir timur Sumatera. Untuk memudahkan tukar menukar barang dagangan, penduduk membuat gudang yang dibuat diatas air disebut bangsal rakit (bangsal rakit inilah yang kemudian berkembang menjadi rumah-rumah rakit, bahkan raja Pelalawan pun pernah membuat istana rakit, disamping istana darat).

Ramainya perdagangan di kawasan ini antara lain disebabkan oleh terjadinya kemelut di Johor. Setelah Sultan Mahmud Syah II (Marhum Mangkat Dijulang) mangkat akibat dibunuh oleh Megat Sri Rama, sehingga arus perdagangan beralih ke kawasan pesisir Sumatera bagian timur dan tengah, terutama di sungai-sungai besar seperti Kampar, Siak, Indragiri, dan Rokan. Dalam waktu itulah Pelalawan memanfaatkan bandar-bandar niaga untuk menjadi pusat perdagangan antar wilayah di pesisir timur dan tengah Sumatera.

Kemelut di Johor…

Sultan Mahmud Syah II yang mangkat dibunuh oleh Laksemana Megat Sri Rama tidak berputera, maka penggantinya diangkat Bendahara Tun Habib menjadi Raja Johor yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Tak lama datang Raja Kecil Siak menuntut Tahta Johor, karena beliau mengaku sebagai putera Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya yang bernama Encik Pong. (Catatan silsilah raja-raja Siak menyebutkan bahwa ketika Sultan Mahmud Syah II mangkat, Raja Kecil masih dalam kandungan bundanya, yang sengaja diungsikan keluar dari Johor. Dalam pelarian itulah beliau lahir, kemudian dibawa ke Jambi dan dibawa ke Pagarruyung. Disanalah beliau dididik dan dibesarkan, sampai beliau turun kembali ke Johor melalui Sungai Siak untuk mengambil tahta Johor yang sudah diduduki oleh Sultan Abdul Jalil Riayat Syah itu. Mengenai Raja Kecil ini terdapat berbagai versi, ada yang mengakuinya sebagai putera Sultan Mahmud dan ada yang menolaknya. Tetapi para pencatat sejarah dan silsilah dikerajaan Siak dan Pelalawan tetap mengakui bahwa beliau adalah putera Sultan Mahmud Syah II).

Raja kecil menduduki tahta Johor bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah. Tetapi kemudian terjadi pula pertikaian dengan iparnya, Raja Sulaiman, putera Sultan Abdul Jalil Riayat Syah. Pertikaian itu terus berlanjut dengan peperangan berkepanjangan. Raja Sulaiman akhirnya berhasil menduduki tahta Johor, dan bergelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah dengan bantuan lima orang putera bangsawan Bugis (1722-1760). Sedangkan Raja Kecil yang menduduki tahta Johor sebelumnya (1717-1722 M) mengundurkan dirinya ke Siak, kemudian membuat negeri di Buantan. Inilah awal berdirinya kerajaan Siak Sri Indrapura. Raja Kecil memerintah Siak sejak 1722-1746 M. Sehingga di pantai timur Sumatra (Riau) wujud 2 kerajaan iaitu Siak dan Pelalawan.

Pelalawan Melepaskan Diri dari Johor…tetapi Siak Pula Mencengkeram

Berlangsungnya kerusuhan di Johor itu menyebabkan Pelalawan melepaskan dirinya dari ikatan Johor, apalagi berita yang sampai ke Pelalawan mengatakan, yang memerintah di Kerajaan Johor sekarang bukan lagi keturunan Sultan Alaudin Riayat Syah, yang dulunya menjadi raja Pekantua Kampar.

Pada masa Sultan Syarif Ali berkuasa di Siak (1784-1811 M), beliau menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kerajaan Siak sebagai yang "Dipertuan", karena beliau adalah pewaris Raja Kecil, putera Sultan Mahmud Syah II Johor. Pelalawan yang diperintah Maharaja Lela menolaknya. Maka pada tahun 1797 dan 1798, kerajaan Siak menyerang kerajaan Pelalawan. Serangan pertama yang dipimpin oleh Said Syahabuddin dapat dipatahkan kerajaan Pelalawan, namun serangan berikutnya yang dipimpin oleh Said Abdurrahman, adik Sultan Syarif Ali dapat menaklukan kerajaan Pelalawan. Sultan Said Abdurrahman melakukan ikatan persaudaraan yang disebut "Begito" (pengakuan bersaudara dunia akhirat) dengan Maharaja Lela II, raja Pelalawan yang dikalahkannya, karena merasa sama-sama keturunan Johor, kemudian mengangkatnya menjadi Orang Besar Kerajaan Pelalawan dengan gelar Datuk Engku Raja Lela Putera. Said Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi Raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh raja-raja keturunan Said Abdurrahman, saudara kandung Syarif Ali, Sultan Siak, sampai kepada raja Pelalawan terakhir, raja-raja itu adalah: Syarif Abdurrahman (1798 - 1822 M) ; Syarif Hasyim (1822 - 1828 M); Syarif Ismail (1828 - 1844 M); Syarif Hamid (1844 - 1866 M); Syarif Ja'afar (1866 - 1872 M); Syarif Abubakar (1872 - 1886 M) ; Tengku Sontol Said Ali (1886 - 1892 M) ; Syarif Hasyim II (1892 - 1930 M); Tengku Said Osman (Pemangku Sultan) (1892 - 1930 M); Syarif Harun (Tengku Said Harun) (1941- 1946M)

Pelalawan Hari ini…

Sebagai bahagian taklukan Siak, Pemerintahan kecil ini sempat diberi wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri melalui perjanjian lange verlaring saat penjajahan Belanda. Selepas kemerdekaan Indonesia, ia masuk wilayah Kampar di Provinsi Riau. Tetapi, sejak 12 Oktober 1999, Kabupaten Pelalawan resmi berdiri, memisahkan diri dari Kampar. Pelalawan berjiran dengan Siak di utara, Kampar di barat, Kuantan, Inderagiri Hulu, Inderagiri Hilir di Selatan dan Kepulauan Karimun di timur.

Pusat pemerintahannya ada di Pengkalan Kerinci. Ia mulai dikenal orang ketika PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) didirikan tahun 1992. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi pulp terbesar di Asia Tenggara, yaitu 2 juta ton per tahun. Sementara produk kertas 450.000 ton per tahun. Selain itu, Aliran sungai Kampar juga berkuala di Pelalawan ini dimana fenomena alam yang datang sebelum pasang yang disebut ‘BONO’ terjadi. Air laut mengalir masuk dan bertemu dengan air sungai Kampar sehingga terjadi gelombang dengan kecepatan yang cukup tinggi, dan menghasilkan suara seperti suara guntur dan suara angin kencang. Pada musim pasang tinggi, gelombang sungai Kampar bisa mencapai 4-6 meter, membentang dari tepi ke tepi menutupi keseluruhan badan sungai. Peristiwa ini terjadi setiap hari, siang maupun malam hari. Hal yang menarik turis ke objek wisata ini adalah kegiatan berenang, memancing, naik sampan, dan kegiatan rekreasi air lainnya.

Taman Nasional Kerumutan juga terletak di Pelalawan, dengan luas hutan mencapai 93.222,20 hektare hutan liar yang dihuni oleh beberapa hewan dan pohon yang dilindungi seperti: timber (shorea ASP), punak (tetrameriotaglabra miq), Nipa Palm (Nypa Fruticons), Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatraensis), Macan Tutul (Neovelis Nebulosa), Ikan Arwana (Scheropoges Formasus), Itik Liar (Cairina Scutalata), dan lain-lain


http://sriandalas.multiply.com/journal/item/16



Edisi Agustus 2009

Bandar Senapelan,
Suntingan Kisah Negeri Impian
di Hulu Siak
Oleh : Muhammad Thohiran


Bandar Senapelan adalah sebuah tapak tanah di dalam wilayah tradisi dan adat budaya Kerajaan Siak yang mesti dirawat dengan semangat dan suntingan Siak karena sepanjang sejarahnya Senapelan sempat menjadi titian jiwa menuju ke dunia luar di sebelah hulu bagi Siak.

Bersandar pada khazanah budaya lokal puak Batin Senapelan, puak Pebilang Pengambang dan puak Tenayan dalam suntingan kemilau khazanah Siak telah membuat Pekanbaru menjadi geriang sulingan kisah tersendiri yang ingin menghidangkan kedalaman masa lalu dalam riak gelombang kekinian.

Meskipun tak ada cacatan sejarah yang pasti sejak kapan orang Senapelan mulai mengenal upacara adat perkawinan sebagai bagian terpenting dalam tradisinya. Namun, dengan kebijaksanaan Islam, yang kemudian merentas di celah-celah bilik adat yang berakar dari kemilau budaya Kerajaan Siak, telah merekah dalam suatu pahatan indah di atas selasar budaya masyarakat Melayu Pekanbaru.

Tapi, catatan sejarah yang ditulis almarhum Imam Suhil Siak menunjukkan hari Selasa 21 Rajab 1204 H bersempena 23 Juni 1784 M sebagai awal berdirinya Negeri Sakti Rantau Bertuah ini. Kota Pekanbaru yang kala itu dikenal dengan sebutan Bandar Senapelan, terletak di pinggir Sungai Siak. Persisnya di muara sungai-sungai kecil Senapelan, Sungai Sago, Sungai Limau, Sungai Sail, Sungai Tenayan, dan Sungai Air Hitam di kawasan Kampung Dalam, Kampung Baru, Tanjung Rhu, Tampan, Palas, dan Tenayan terus menggeliat.

Bermula ketika Tengku Alamudinsyah dinobatkan sebagai Sultan ke-4 di Kerajaan Siak tahun 1767 dengan gelar Sultan Abdul Jalil Alamudinsyah merasakan tekanan Belanda yang semakin sewenang-wenang dan sangat mempengaruhi pemerintahan yang dipimpinnya maka Sultan Alam pun mengambil keputusan memindahkan pusat Kerajaan Siak dari Mempura ke Bandar Senapelan (Payung Sekaki). Untuk memajukan perdagangan di Senapelan Sultan Alamudinsyah membuat pekan (pasar) di Senapelan mengingat letaknya yang sangat strategis karena berada di persimpangan pusat perdagangan antar daerah di tengah pulau Sumatra.

Cita-cita Sultan Alamudinsah untuk membangun pusat perdagangan tersebut kemudian dilanjutkan oleh putra beliau Sultan Muhamad Ali, karena belum sempat pasar itu berkembang Raja Alam meninggal dunia dan beliau dimakamkan di samping Masjid Raya yang disebut Marhum Bukit. Dengan kerja keras dan berbagai rintangan dibangun kembali pasar (pekan) di sekitar pelabuhan sekarang.

Sejak terbunuhnya Sultan Mahmud Syah II di tahun 1699, daerah-daerah Melayu di seberang Semenanjung yang selama ini berdaulat kepada Kesultanan Johor menjadi terpecah dan akhirnya dikuasai oleh dua kekuatan utama, yaitu Kesultanan Siak Daarussalamul Qiam dan Kesultanan Lingga. Berkat kebijaksanaan Islam yang telah memilih jalan budaya dalam mengembangkan sayap-sayap kerohaniannya di tanah Melayu telah menimbulkan pesona budaya yang begitu kemilau, sehingga telah menempatkan Kerajaan Siak sebagai pilar penyanggah dan pelindung utama adat serta budaya Melayu di pesisir timur Sumatera selain Kesultanan Lingga di Kepulauan Riau.

Kepindahan pusat kerajaan dan pemerintahan Sultan Alamudinsyah ke Senapelan juga berlanjut dengan membawa tradisi, resam, adat istiadat serta hukum Kerajaan Siak dan dipatuhi oleh masyarakat Melayu Pekanbaru di Kampung Senapelan dan sekitarnya. Sebagai pusat kerajaan Siak yang baru, Sultan Alamuddin Syah mendirikan mesjid, istana, balai kerapatan adat, pesanggerahan dan kuburan. Acara-acara tradisional pun berkembang di kawasan kekuasaan Kerajaan Siak ini.

Datuk Bandar Senapelan bersama Dewan Kerajaan, yaitu Datuk Empat Suku (Datuk Pesisir, Datuk Lima Puluh, Datuk Tanah Datar, Datuk Kampar) terus berperan aktif dalam memartabatkan budaya Melayu. Peran ketua adat, orang tua-tua, ulama, imam dan orang patut pun memancarkan cahaya kemilau dalam memberikan nasehat Tunjuk Ajar.

Tradisi adat pun dianjung dan disanjung. Nilai-nilai tunjuk ajar Melayu yang handal telah dapat mengekalkan jati diri kemelayuan masyarakat Pekanbaru. Meneduhkan siapa saja yang bernaung di bawahnya dalam payung yang bermarwah yang disebut “Payung Panji Adat”.


Dari berbagai sumber

Minggu, Agustus 16, 2009

Edisi Agustus 2009

Artefak Masa Prasejarah
Ditemukan di Riau



Pekanbaru, (ANTARA News) - Tim peneliti Pusat Studi Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM) menemukan artefak berupa alat batu dari masa Pleistosen di daerah aliran sungai (DAS) Sungai Sengingi, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.


"Temuan ini membuktikan bahwa ada kehidupan prasejarah di wilayah Provinsi Riau," kata Ketua tim peneliti Dr. Widya Nayati kepada ANTARA di Pekanbaru, Kamis.

Alat batu yang ditemukan antara lain kapak penetak, perimbas, serut, serpih dan batu inti yang merupakan bahan dasar pembuatan alat serut dan serpih.

Tim peneliti juga menemukan beberapa fosil kayu yang diprakirakan berusia lebih tua dari alat-alat batu itu sehingga bisa disimpulkan Riau telah dihuni sejak masa prasejarah antara 10.000-40.000 SM.

Namun, hingga kini peneliti belum menemukan fosil manusia pendukungnya.

"Berdasarkan persamaan temuan budaya paleolitiknya, maka diduga manusia pendukung alat batu yang ditemukan di Riau adalah Homo Sapiens atau Pithecantropus seperti yang pernah ditemukan di Sangiran, Jawa Tengah," ujarnya.

Widya menjelaskan, penemuan ini tidak disengaja karena sebenarnya tim peneliti sedang bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Riau untuk penyusunan Rencana Induk Pengembangan Kebudayaan Melayu.

Mereka melakukan survei pertama pada Juni 2009 dimana ditengarai ada nisan dari fosil kayu di Taluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi.

Dari penelusuran, secara geologis ditemukan teras-teras sungai purba pada masa Pleistosen yang endapannya mengandung material bahan untuk pembuatan alat litik di sekitar daerah Logas.

Sungai purba tersebut diperkirakan adalah Sungai Indragiri kuno dan memiliki tiga teras. Teras sungai purba kini telah menjadi perbukitan, permukiman dan jalan, serta DAS Sungai Sengingi.

Survei permukaan di anak sungai Indragiri kuno pada Juni menemukan sebuah kapak penetak setinggi 12 centimeter (cm), lebar sembilan cm, dan tebal lima cm.

"Selanjutnya kami terus menemukan alat batu dan fosil kayu pada radius 10 kilometer di Logas," ujarnya.

Ia mengatakan penemuan bukti kehidupan prasejarah yang pertama di Riau tersebut membuktikan ada kehidupan lebih tua di Riau yang selama ini selalu mengacu pada penemuan Candi Muara Takus bercirii Budha di Kambupaten Kampar sebagai titik poinnya.

Bukti keberadaan permukiman zaman paleolitik di Sumatera selama ini hanya ditemukan di dua tempat, yaitu daerah Lahat, Sumatera Selatan dan Kalianda, Lampung.

"Penemuan ini akan sangat berguna bagi arkeologi Indonesia, Asia Tenggara, bahkan untuk dunia," ujarnya.

Arkeolog Agus Trihascahyo mengatakan, penemuan alat batu tersebut tidak begitu sulit karena cukup melakukan penggalian sekitar 15 centimeter hingga dua meter di DAS Sengingi.

Menurut dia, alat batu tersebut memiliki kekerasan tujuh skala mosh. Untuk perbandingan, batu berlian mempunyai kekerasan 10 skala mosch.

Alat batu itu disebut artefak prasejarah berdasarkan sejumlah titik pukul yang menunjukkan ciri pemangkasan dalam pembuatan kapak purba. Selain itu, terdapat pula bekas pemakaian (retus) pada sisi tajam kapak yang menunjukkan bahwa alat batu tersebut pernah digunakan oleh manusia purba.

"Meski begitu, kami masih memerlukan analisis detail untuk menentukan kepastian umur alat-alat batu," katanya.

Analisis detail akan dilakukan di Yogyakarta dan kemungkinan dipublikasan hasilnya sekitar tiga minggu mendatang, sementara hak paten penemuan akan menjadi milik UGM dan Pemerintah Provinsi Riau. (*)

COPYRIGHT © 2009 ANTARA
PubDate: 13/08/09 10:56

Kamis, Agustus 13, 2009

Edisi Agustus 2009

Asal Muasal nama "SUMATERA"


NAMA ASLI pulau Sumatera, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah "Pulau Emas". Istilah pulau ameh kita jumpai dalam cerita Cindur Mata dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau mereka yang besar itu. Seorang ******* dari Cina yang bernama I-tsing (634-713), yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut pulau Sumatera dengan nama chin-chou yang berarti "negeri emas".

Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa ("pulau emas") atau Suwarnabhumi ("tanah emas"). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa.

Para musafir Arab menyebut pulau Sumatera dengan nama Serendib (tepatnya: Suwarandib), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Cuma entah kenapa, ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilanka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa!

Di kalangan bangsa Yunani purba, Pulau Sumatera sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatera, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.

Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya 'pulau emas'. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi tanah air kita, terutama Sumatera. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatera. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditi mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.

Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), fasal 9, diterangkan bahwa Nabi Sulaiman a.s. raja Israil menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan beliau. Emas itu didapatkan dari negeri Ophir. Kitab Al-Qur'an, Surat Al-Anbiya' 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman a.s. berlayar ke "tanah yang Kami berkati atasnya" (al-ardha l-lati barak-Na fiha).

Di manakah gerangan letak negeri Ophir yang diberkati Allah itu? Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatera! Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatera dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ophir-nya Nabi Sulaiman a.s.

Lalu dari manakah gerangan nama "Sumatera" yang kini umum digunakan baik secara nasional maupun oleh dunia internasional? Ternyata nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang pernah disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis. Memang orang Eropa seenaknya saja mengubah-ubah nama tempat. Hampir saja negara kita bernama "Hindia Timur" (East Indies), tetapi untunglah ada George Samuel Windsor Earl dan James Richardson Logan yang menciptakan istilah Indonesia, sehingga kita-kita ini tidak menjadi orang "Indian"! (Lihat artikel penulis, "Asal-Usul Nama Indonesia", Harian Pikiran Rakyat, Bandung, tanggal 16 Agustus 2004, yang telah dijadikan salah satu referensi dalam Wikipedia artikel "Indonesia").

Peralihan Samudera (nama kerajaan) menjadi Sumatera (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pardenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.

Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudera Hindia dan di sana tertulis pulau Samatrah. Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama Camatarra. Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama Samatara, sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama Samatra. Ruy d'Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu Camatra, dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya Camatora. Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak 'benar': Somatra. Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih 'kacau' menuliskannya: Samoterra, Samotra, Sumotra, bahkan Zamatra dan Zamatora.

Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah kita: Sumatera.


Sumber:
http://media-jakarta.blogspot.com/20...-sumatera.html

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran