Minggu, Oktober 19, 2008

Edisi Oktober 2007


Pokok-Pokok Pemikiran
Penguatan Peran Puak Melayu Provinsi Riau
Oleh : Ir. H. NASRUN EFFENDI, MT
Ketua Umum PD. Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Provinsi Riau




Puak Melayu sebagai penduduk asli negeri Riau (indigenous people) adalah suatu takdir dari Allah SWT. Di sana mereka diberikan tempat untuk menjalani nasibnya di dunia ini. Di sana pula mereka menjalani kehidupan dengan budayanya sendiri menyesuaikan dengan alam lingkungannya. Puak-puak lain yang berdatangan kemudian ke negeri Riau adalah suatu anugerah dari Allah jua.


Pertemuan dan pembauran berbagai puak dengan budaya yang berbeda, akan menghasilkan pengetahuan baru yang dapat membawa percepatan kemajuan negeri. Persoalannya adalah bagaimana bentuk dan formulasi pembauran para puak dan budayanya yang akan membawa kepada kemajuan tersebut dan tidak akan menimbulkan dampak perpecahan dan akhirnya justeru menjadi bencana yang merugikan negeri.

Komitmen masyarakat dunia terhadap puak tempatan (indigenous people) yang dituangkan dalam dokumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) antara lain; The Universal Declaration of Human Right, 1948; The U.N. Declaration on the Rights of Persons Belonging to National, or Ethnic, Religious, Language Minorities, 1992 dan Report of the Secretary General on the preliminary review by the Coordinator of the International Decade of the World’s Indigenous People on the Activities of the United Nations system in relation to the Decade, 2004 dan komitmen bangsa Indonesia yang antara lain dituangkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang melindungi puak tempatan dan berbagai haknya, tidak diragukan lagi.

Namun, dalam kenyataannya banyak puak tempatan diberbagai negara yang terpinggirkan dan bahkan hilang sama sekali. Antara lain sebut saja puak Indian di Amerika, puak Lapps di Skandinavia, puak Ogini di Nigeria Afrika, puak Oborigin di Australia dan puak Melayu di Singapura. Akankah fenomena yang ironis ini terulang lagi di Propinsi Riau negeri Melayu ini?

Propinsi Riau baru saja merayakan Hari Jadi yang ke 50 tahun. Suatu masa yang cukup tua dan punya pengalaman yang tidak sedikit dalam mempertahankan eksistensi puak Melayu. Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Tak Melayu Hilang Di Bumi adalah tekad sakral yang diucapkan oleh Hang Tuah dan menjadi pegangan bagi anak puak Melayu. Hari ini, di Riau negeri Melayu, komunitas puak Melayu tinggal 38 %, sementara puak Jawa 25 %, puak Minang 11 %, puak Batak 8 % dan sisanya puak-puak lainnya.

Menurutnya jumlah puak Melayu ini tidak terlepas dari pengaruh sistem pemerintahan yang dianut Republik ini terdahulu yaitu sistem setralistis, dimana Pemerintah Pusat berkuasa penuh dalam berbagai kebijakan termasuk mengatur penyebaran penduduk dengan sistem transmigrasi.

Lain lagi yang dihadapi dengan sistem pemerintahan demokrasi seperti sekarang ini. Keputusan diambil berdasarkan jumlah suara terbanyak, bukan berdasarkan kebenaran dan keadilan. Yang jumlahnya banyak boleh jadi menjajah yang jumlahnya sedikit, yang kuat boleh jadi menindas yang lemah. Sementara, kondisi riil jumlah puak-puak penduduk Riau negeri Melayu sudah terpilah sebagaimana disebutkan di atas. Masihkah Tak Melayu Hilang di Bumi?

Tulisan ini bukan bermaksud fanatisme puak Melayu dan bukan pula alergi terhadap puak lain. Persoalannya adalah, pertama bagaimana kiatnya agar puak Melayu tetap eksis di negerinya sendiri dan tidak terpinggirkan atau punah sebagaimana yang sudah terjadi di Singapura, yang kita yakini sudah bertentangan dengan berbagai norma hak asasi manusia. Kedua, bagaimana bentuk dan formulasi kebijakan yang mengatur hubungan antar puak agar membaur dan bersinergi sehingga mempercepat kemajuan negeri.

Secara umum, kualitas sumberdaya manusia puak Melayu dan puak pendatang memang berbeda. Selama perjalanan dari tempat asal ke Riau saja, paling tidak, puak pendatang sudah memiliki pengalaman yang berlebih dari puak Melayu.

Dari segi budaya, puak Melayu cenderung pasif dengan lingkungannya karena secara turun temurun sudah beradaptasi secara mapan dengan lingkungannya. Sementara, puak pendatang cenderung agresif menghadapi lingkungannya, karena memang tuntutan terhadap sesuatu kondisi yang baru menghendaki demikian.

Akumulasi dari kondisi ini, puak Melayu relatif tertinggal dari saudaranya puak pendatang dalam berbagai segi. Bila sistem demokrasi dan mekanisme pasar bebas sebagaimana yang kita anut sekarang dibiarkan tanpa ada rambu yang mengaturnya atau upaya menetralisirnya, maka kecemburuan sosial antar puak akan semakin membesar bagaikan bisul menunggu saat pecahnya. Bencana ini harus dihambat sebelum terjadi.

Bagaimana sikap puak Melayu mengahadapi kondisi ini ? Tentulah amat sangat beragam. Mulai dari yang konservatif sampai moderat. Yang kita pilih untuk bahan pemikiran kita adalah sikap yang memungkinkan percepatan kemajuan puak Melayu sehingga sejajar dengan puak pendatang dan kemudian secara bersama-sama akan bersinergi dan saling bahu-membahu memajukan Riau negeri Melayu ini.

Untuk maksud di atas, kita mulai dengan perkuatan institusi puak Melayu, lalu diikuti dengan keperdulian cendikiawan, ulama, pucuk adat dan semua komponen yang merasa terpanggil dan menyadari kepentingan puak Melayu di masa mendatang serta keberpihakan Pemerintah Daerah dan memberikan berbagai akses dalam rangka memberdayakan puak Melayu.

Bagi puak pendatang yang sudah lebih maju, kita harapkan berlapang dada memberikan kesempatan kepada saudaranya puak Melayu agar ke depan bisa berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah membangun negeri. Dengan demikian diyakini puak Melayu tidak akan terpinggirkan di negerinya sendiri.

Komitmen masyarakat dunia dan negara Indonesia memberikan perlindungan kepada puak tempatan yang merupakan hak asasi manusia akan terwujudkan. Tak akan ada lagi tragedi kemanusiaan yang disebut pemusnahan puak.

Tak Melayu Hilang Di Bumi.



Pekanbaru, 4 September 2007


0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran