Minggu, Oktober 19, 2008

Edisi Desember 2007

Gelar “Haji”
OLEH : MUHAMMAD THOHIRAN
senapelan_mt.yahoo.co.id



Belakangan ini ada semacam fenomena yang menggejala di kalangan umat Islam yang cenderung meletakkan “haji” hanya sebatas pendongkrak status sosial di dalam masyarakatnya semata. Seseorang yang semula kurang terpandang di masyarakat mendadak dihargai dan dihormati setelah melaksanakan ibadah haji. Sehingga tidak sedikit orang yang akan marah jika tidak dipanggil dengan sebutan haji atau hajjah. Sebegitu pentingkah gelar haji tersebut?


Marilah kita sejenak kembali menoleh ke belakang. Semasa penjajahan di abad ke-19, ibadah haji bagi masyarakat di Nusantara ini memiliki fungsi sebagai sarana penyadaran penduduk Hindia Belanda (Indonesia) tentang pentingnya sebuah kemerdekaan bagi bangsanya. Maka, jadilah para haji tersebut sebagai penggerak anti penjajahan dan beralih menjadi pejuang Islam yang berani mempertaruhkan jiwa raganya demi memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. Namun paruh pertama abad ke-20, haji mulai bergeser fungsi dan hanya dipandang sebagai jembatan tercepat meraih martabat di tengah masyarakat.

Selaras makna etimologis haji yang berarti al-qashdu (menuju, lurus, sederhana, dan indah), Van Gannep (1960) menengarai prosesi haji sebagai serangkaian ritus keagamaan (rites de passage) yang menjadi sarana perubahan efektif seorang individu muslim dari posisi tertentu sebelumnya ke posisi yang lebih tinggi derajatnya dan dari sekadar orientasi individual menuju misi sosial, dari kemewahan menuju kesederhanaan, serta dari "kebengkokan" menuju kehidupan yang lurus.

Ironisnya, tidak banyak perubahan sosial ke arah yang lebih baik yang ditimbulkan oleh seseorang setelah menyandang gelar haji dalam memberikan manfaat bagi orang banyak. Tatkala seseorang tidak lagi peduli dengan nasib sesama serta tidak adanya ruang kesediaan diri menyediakan keberpihakan kepada mereka yang miskin dan lemah, masih bisakah kita menyebut diri kita sebagai seorang penyandang gelar haji mabrur?

Perlu disadari, sesungguhnya tidak seorang pun di dunia ini yang menginginkan kondisi kebodohan dan kemiskinan menimpa dirinya, sebagaimana pula tak satu pun komunitas sosial yang ingin berada dalam kondisi kehidupan seperti itu. Namun kemiskinan masih merupakan fenomena nyata yang dirasakan oleh sebagian masyarakat dan umat Islam, tidak terkecuali di rantau negeri Melayu ini.

Nampaknya, sudah saatnya kita perlu mencari sosok orang yang berani “menindas” egonya bagi kepentingan orang banyak bagai etos pahlawan dalam dinamika kebangsaan di tiap bulan haji. Mengingat tradisi Ibrahim as yang terlukis dalam etos kepahlawanan bukan hanya diperlukan saat perang kemerdekaan, tapi lebih lagi di saat negeri ini kehilangan roh bangsa dengan kesatuan jiwa dan kepentingan.

Sudah seharusnya ibadah haji dijadikan sebagai rites de passages (ibadah peralihan) bagi setiap Muslim, sehingga sekembalinya dari Tanah Suci menunaikan ibadah haji dapat menjadi satu fase transisi dalam kehidupan orang Islam. Sebuah tahap kehidupan baru dimana haji harus dapat menjadi ungkapan ruh zaman dan mampu memberikan warna bagi masa depan bangsa ke arah yang lebih baik.

Untuk itu, para penyandang gelar haji tersebut haruslah mampu menjadi khalifah fil ardh. Sebagai “khaira ummat ukhrijat li al-naas” yang mampu manjadi motor penggerak dalam perjuangan menegakkan kebaikan dan mencegah kemunkaran di tengah-tengah masyarakatnya.

Para penyandang gelar haji harus mampu mengubah dirinya dan melahirkan keberanian dalam “menindas” kepentingan diri atau kelompok untuk diabdikan bagi kepentingan kolektif orang-orang miskin yang “ditindas” oleh tradisi modern yang sedang berkecamuk saat ini. Mengingat kemiskinan merupakan kategori sosial (ekonomi) yang muncul dan terjadi akibat sistem yang tidak berpihak kepada orang-orang lemah baik secara fisik atau pun sosial.

Insya Allah ....

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran