Minggu, Oktober 19, 2008

Edisi Oktober 2007

Ada Apa denganmu, Wahai Bangsaku?
Oleh : MUHAMMAD THOHIRAN
senapelan_mt@yahoo.co.id



Malam Ramadhan, tepatnya 12 September 2007 pukul 18:10 wib, di saat umat Islam Indonesia hendak bersiap-siap menyambut sholat tarawih di hari pertama Ramadhan 1428 H, bencana kembali menggoncang negeri ini. Berpusat di titik 4,67 LS - 101,13 BT dan pada 159 km barat daya Bangkulu, gempa dengan kekuatan 7,9 skala righter itu seakan membuka kembali mata kita terhadap tragedi tsunami Aceh di penghujung 2004 silam. Apalagi yang bakal menimpa bangsa ini?


Kita hanya dapat tercenung dan membuat hati semakin miris. Bencana demi bencana terus saja bergulir tak henti-hentinya. Rahim Ibu Pertiwi kembali terluka. Negeri Zamrud Khatulistiwa yang telah dilahirkannya seakan tak lagi mampu melantunkan bait-bait indah untuk dipersembahkan kepada anak-anak zaman dan pewaris sejarah bangsa ini. Cahaya syurga yang pernah dijanjikan “langit” pun terlihat semakin samar dan kian meredup.

Tengoklah, betapa kondisi bangsa ini laksana sebuah lukisan surealis dan anomali, yang membias di celah-celah napas kehidupan sosial kita, karena kita kerap bertindak sebagai bangsa yang kalah. Tanggung jawab yang telah mengikat kita dalam fraseologi Islam dan merupakan sebuah kewajiban religius (taklif syai’i) ditanggapi biasa saja. Akibatnya, cawan-cawan keberkahan itu pun kembali menggelebar tak menentu. Sementara itu, lantunan ayat-ayat suci kini terdengar kian samar diterjang oleh kebisingan dan hiruk-pikuk kegalauan hati yang terpinggirkan.

Berbagai asumsi bisa saja kita lontarkan atau mungkin bertanya-tanya, apakah Allah SWT ingin kembali menguji tingkat keimanan kita agar selalu merasa dekat dengan-Nya. Atau, boleh jadi ini merupakan suatu bentuk kemarahan dan kekecewaan Sang Khaliq, karena umat ini telah lupa akan jati dirinya sebagai hamba Allah, sehingga telah jauh dari keinginan-Nya. Atau mungkin, ini merupakan bagian dari takdir yang telah dituliskan Allah SWT di Lauh al-Mahfuz untuk bangsa yang besar ini.

Kita tak bermaksud ingin mendramatisir sebuah persoalan. Tapi kita harus mampu mencari garis titik temunya agar dapat menemukan kembali di dalam diri kita tingkat kesadaran rohaniah yang telah mulai menipis akan makna yang tersirat dalam persoalan bangsa ini. “Ada apa denganmu, wahai bangsaku?”

Tragisnya, di tengah masyarakat sedang dilanda krisis sosial akibat pengaruh pola kehidupan konsumeristik, materialistik dan hedonisme masih kita temui sisi gelap kehidupan masyarakat kita yang lain yang mengalami kegelisahan jiwa saat menatap masa depan yang kelabu.

Tentunya tidaklah berlebihan bila di bulan Ramadhan ini kita lebih membuka mata hati kita terhadap persoalan yang menimpa bangsa kita ini. Mengingat, sebagai bangsa yang besar, umat Islam dituntut untuk dapat berperan aktif menyelamatkan bangsa ini. Sebab, umat Islam menempati lebih dari 85 % penduduk Indonesia ini memiliki andil yang sangat besar dalam menentukan arah dan warna kehidupan masyarakatnya demi menyelamatkan penderitaan bangsa ini.

Di bulan Ramadhan ini kita diberi kesempatan untuk dapat bermunajat kepada Allah, karena bulan ini adalah Syahrul Muwassah (bulan memberikan pertolongan kepada yang berhajat). Dan di bulan Syahrul Jud (bulan memberikan kebajikan kepada sesama manusia, terutama fakir miskin) ini kita pun telah diajarkan oleh Islam untuk dapat memahami persoalan sesama melalui hakikat puasa dengan cara mengatasi kesenjangan sosial secara optimal dengan sikap beriman, rendah hati, dan ikhlas dengan mengikuti jejak sunnah Rasulullah SAW.

Karena tujuan spiritual Islam adalah menjadikan setiap individu sebagai penjamin kepentingan masyarakat dalam memberikan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan luhur (tasammukh). Sebab Islam membangun etika masyarakatnya atas dasar amal nyata yang tidak akan berbuat sesuatu karena keterpaksaan sosial dan lingkungannya, tidak juga mempunyai etika yang merupakan sekumpulan norma yang berlaku di masyarakat semata, melainkan lebih dominan digerakkan oleh kesadaran sosialnya yang tinggi serta kecintaannya terhadap nasib sesama.

Agaknya, kita perlu menyimak kembali peringatan Nabi SAW melalui haditsnya yang diriwayatkan oleh Razin, “Dari Ali ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Bersegeralah bersedekah, karena musibah tidak dapat melangkahi sedekah”. (Misykat).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran