Rabu, Oktober 22, 2008

Edisi Januari 2008

Antara Odading, Roti dan Gedang



Alkisah, di Bandung ada sejenis kue yang dulunya tak bernama, yaitu adonan terigu campur gula pasir yang digoreng lurus-lurus. Suatu ketika seorang sinyo Belanda merengek kepada maminya minta dibelikan kue tak bernama itu.

“Mammie, koop dat voor mij”
. Sang mami penasaran. Dia pun memanggil si ujang penjual kue dan disuruhnya membuka daun pisang penutup kue di nyiru tersebut. Begitu melihat terigu goreng itu, berkatalah dia dengan heran, “O, dat ding?” Artinya, “O, barang itu?”.


Si ujang kembali ke kampungnya dan mengatakan kepada emaknya bahwa ternyata kue itu bernama odading. Itulah sebabnya hingga kini orang di Bandung menyebut adonan terigu goreng ini dengan sebutan odading.

Lantas, siapa yang menyangka bahwa roti, yang sama-sama memerlukan terigu ini, ada dongengnya pula?

Di Jakarta, para penjaja makanan senang menyeru barang dagangannya dengan teriakan “iii” di akhir sejumlah kata. Semantara bahasa Belanda roti adalah brood. Nah, ketika penjaja makanan itu menyeru ”brood” selalu dilengkapi pula dengan “iii”, maka selanjutnya jadilah broot-i.
Lambat laun kebiasaan tersebut terus berlanjut sampai akhirnya kita mengenal sebutan roti.

Lain laigi dongeng yang ada di suku Jawa dan masih bertalian dengan urusan perut. Pisang dalam bahasa Jawa disebut gedang. Ceritanya, sepasukan tentara Belanda terpisah dari induknya dalam peperangan yang berlangsung di Jawa Tengah 1825-1830. Berhari-hari mereka tak makan. Tatkala melintasi suatu lembah, mereka tiba di sebuah perkebunan pisang. Saking girangnya mendapat makanan, mereka mengecapkan syukur dalam bahasa Belanda, “God dank”, yang artinya ‘terima kasih Tuhan’.

Sejak saat itulah, masyarakat Jawa yang sebelumnya tidak mengetahui nama buah pisang tersebut akhirnya menyebut gedang.



Disarikan dari Buku
“9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing”,
Alif Danya Munsyi, 2003.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran