Cinta yang Kandas di Kaki Ibu
Oleh : Senapelan MT
senapelan_mt@yahoo.co.id
Oleh : Senapelan MT
senapelan_mt@yahoo.co.id
“Pokoknya ibu tetap gak setuju. Titik!” Bagaikan halilintar, ucapan ibunya itu telah membuat hati Tari tercabik. Inilah pertama kalinya Tari merasakan arti sebuah ketakutan di dalam hidupnya. Ia seakan melihat sang maut yang hendak merengkuh jiwanya.
***
Sebenarnya Tari sengaja mengambil cuti beberapa hari karena sudah lama rasanya tidak pulang ke Ciceuri, sebuah desa kecil tanah kelahirannya. Selain rindu, Tari memang bermaksud meminta restu dari ibunya. Kekasihnya, Ichsan, ingin mempertegas jalinan kasih mereka dan bermaksud ingin mempersunting dirinya dalam waktu dekat ini.
Impian Tari menerawang jauh ke angkasa cinta sambil membayangkan kebahagiaan yang bakal diraihnya. Tapi, kenyataan berkata lain setelah ibunya tega meletakkan segenggam air mata keperihan di atas mahkota cintanya.
Malam kian larut. Tari tetap saja tak bisa tidur. Wajah Ichsan, kekasihnya, masih terus saja melintas. Mengusik setiap desah napasnya. Denyut nadinya kian berdetak kencang. Desakan emosinya berlari hingar-bingar menendang dinding batinnya dan menyembul di antara riak-riak perasaannya yang terluka. Tiba-tiba matanya basah.
Selang sehari, persisnya Sabtu siang, Tia datang, meskipun agak terlambat seperti yang dijanjikannya. Tia memang sudah setahun lebih tak tinggal bersama orangtuanya. Ia lebih memilih indekost tak jauh dari kantornya. Kepada orangtuanya, Tia hanya mengatakan bahwa dia ingin mencoba hidup mandiri meski sebenarnya tak ada yang tahu alasan sesungguhnya kecuali Tia sendiri. Namun Tia masih sempat menjenguk orangtuanya, minimal sekali dalam sebulan.
Tari masih saja menyendiri di kamarnya. Bersandar di sudut kedukaan. Jiwanya terasa lelah setelah berputar-putar di dalam kebingungan. Sementara wajah Ichsan, pujaan hatinya, masih terus mengusiknya. Tia pun masuk dan duduk di sebelah Tari, adik semata wayangnya. Pandangan matanya seakan dapat mendengar senandung lirih terpancar dari rona wajah adiknya yang sedang bergumul di antara kebingungan dan ketakutan.
“Kapan dari Bandung...?”
“Kemarin siang”.
Tia dapat melihat dengan jelas wajah adiknya yang kusut masai. Cahaya matanya redup tak bergairah. Selintas Tia memang sudah memahami persoalan yang sedang menimpa adiknya sewaktu Tari menelponnya dari Bandung, beberapa hari lalu. Tari sangat memahami betul sifat adiknya itu. Sosok Tari yang pendiam membuatnya pandai menyimpan gejolak perasaannya. Namun kini, Tari tak kuasa menahannya. Kembali matanya berkaca-kaca.
“Ceritalah sama Teteh .....“ Dengan suara lembut Tia mencoba memecah kebisuan. Tari segera menguasai dirinya.
Dengan suara lirih Tari berucap, “Tari bingung, Teh. Apalagi yang harus Tari perbuat...?” Kemudian Tari meletakkan kedua telapak tangannya ke wajah, seakan hendak menjaga jiwanya yang berontak. Tiba-tiba saja Tari terisak. Tia berusaha menyimak. Tapi tak ada yang dapat didengarnya selain sebuah ratapan sendu berbaur di dalam kegalauan.
“Teteh bisa memahami persoalan yang sedang Tari alami”. Tia yang duduk persis di sebelah Tari segera menyentuh tangan adiknya seakan ingin memberikan kekuatan pada sebuah jiwa yang sedang hampa. Tia pun dapat merasakan keperihan hati adiknya itu. Lantas dipeluknya Tari dalam sebuah dekapan yang penuh dengan kelembutan. Sebuah sentuhan cinta yang begitu menentramkan batin Tari. Tia pun dapat merasakan getaran jiwa adiknya meliuk-liuk menendang dinding batinnya.
“Tari...., kamu masih percaya sama Teteh, kan ....? Bicaralah sepuasmu, Dik. Jangan kau biarkan dirmu larut di dalam kesedihan. Mudah-mudahan Teteh bisa membantumu”. Tari menengadah sambil menatap wajah Tia, kakaknya. Matanya basah dalam tatapan kosong. Jiwanya menggelepar layaknya orang yang kehausan dan sedang menanti datangnya segelas air turun dari langit angkasa.
“Teh, Tari takut....” Tiba-tiba sebuah kekuatan dahsyat datang menghampirinya. Tari pun bercerita tentang keperihan yang dideritanya. Tia berusaha untuk menyimak kalimat demi kelimat yang meluncur di bibir adiknya yang tipis.
***
“Bu, boleh Tia bicara sebentar?” Tia mencoba membuka suara sambil memandang ibunya setelah beberapa saat menenangkan diri dalam tarikan napas yang dalam. Tia pun mulai bercerita tentang persoalan yang sedang menimpa adiknya. Berharap kearifan ibunya untuk mau memberikan kesempatan kepada Tari.
“Ngeliat fotonya aja Ibu sudah gak suka. Gimana Ibu bisa setuju”. Jawaban ibunya membuat kening Tia berkerut. Bulu matanya mengejang. Sambil menggerakkan jemarinya, Tia merasakan hakikat kebenaran bagaikan binatang yang merayap di balik kegelapan. Jiwanya seakan terlepas dari raganya lalu berenang di ruang-ruang tak bertepi sambil berusaha mencari kata-kata yang dapat dia ucapkan.
“Sekarang begini aja, Bu. Tia mohon Ibu mau memberikan kesempatan pada Tari untuk menentukan siapa pendamping hidupnya. Lagian mereka saling mencintai. Alangkah baiknya Ibu sebagai orangtua mau memberikan restu.”
“Nggak”.
“Tapi, Bu. Sampai kapan Ibu tak bisa menghargai pilihan kami? Kenapa Ibu selalu memaksakan keadaan bahwa pendamping kami harus sesuai dengan selera Ibu? Cukup Tia aja, Bu, yang mengalami kepahitan itu”. Dengan lantang Tia berusaha mengingatkan Ibunya tentang tragedi cinta yang pernah dialaminya dulu.
“Cinta aja nggak cukup untuk membina sebuah rumah tangga bila tidak ditunjang oleh kemapanan ekonomi. Ibu nggak mau kalian mendapatkan suami seperti ayah kalian. Dan perlu kalian sadari, cinta itu bisa tumbuh setelah menikah”, jawab ibunya ketus.
“Maaf, Bu. Tia tetap nggak sependapat dengan cara berpikir Ibu yang selalu mengedepankan materi sebagai tolok ukur sebuah kebahagiaan. Lagian, kita nggak bisa menilai seseorang hanya karena melihat keadaannya saat ini. Siapa sangka kalau Burhan bisa sukses dalam hidupnya, sementara Ibu pernah meremehkannya hanya karena saat itu dia belum bisa membuktikan apa-apa...!”
“Ibu tetap nggak setuju. Titik...!”
“Tapi, Bu. Hubungan mereka sudah terlanjur jauh. Dan mereka sudah nggak mungkin lagi dipisahkan”, protes Tia. Namun ibunya tetap tak bergeming.
“Orang yang yang sudah kawin aja bisa cerai!” Itulah kalimat terakhir yang muncul dari mulut ibunya sambil berlalu meninggalkannya. Tia kecewa sekali menyaksikan kebekuan sikap ibunya yang selalu memandang sesuatu yang tampak. Selalu menilai seseorang hanya dengan timbangan materi.
Tia masih duduk termangu dan membuatnya tak mampu bersuara.
“Tari, ikut nginap di tempat kost Teteh, yuk .... Lagian cutinya kan masih beberapa hari lagi. Kamu bisa memenangkan pikiran sambil menunggu Teteh pulang kerja”. Ajak Tia seraya memandangi adiknya dengan sepenuh jiwa. Tiba-tiba Tia seperti melihat masa lalu itu kembali terpancang di depannya. Dipeluknya Tari. Kelopak matanya yang sembab membengkak. Mengguratkan bekas-bekas tangis karena tak tidur semalaman.
Tari kembali menatap kosong ke arah kakaknya seakan ingin mengungkapkan kehebatan derita dan keperihan hatinya. Tari hanya bisa mengangguk pasrah.
Saat ini Tari sudah berada di tempat kost kakaknya. Tak ada yang bisa diperbuatnya selain hanya berdiri termangu di sudut jendela kamar. Merenung sendirian sambil membaca mimpi-mimpinya yang patah. Tari berusaha melabrak perasaanya dan mengalahkan kehendak jiwanya. Namun Tari kalah. Wajah Ichsan, kekasihnya, masih terus mengusiknya. Tari berusaha mengalihkan perhatiannya ke arah jendela, tapi bayangan wajah kekasihnya terus saja menghampirinya.
Siang terus merambat menuju petang. Tia pun telah pulang dari kantornya. Dipandangnya wajah adiknya, Tari, yang putih dan manja itu dengan perasaan teriris. Selama ini Tia sangat bahagia setelah menyaksikan bagaimana perubahan sikap adiknya yang dulu pendiam dan tak banyak bicara seakan tersulap jadi periang dan ceria setelah menjalin kasih bersama Ichsan.
Pikiran Tia kembali menerawang jauh ke masa silam.
Kala itu, saat masih kuliah di Politeknik Ciwaruga Bandung, Tia berkenalan dengan seorang kakak kelas, mahasiswa perantau yang telah berhasil memikat hatinya. Namun, kenangan manis yang pernah dirajutnya bersama Burhan itu kandas di tengah jalan. Ibunya menolak kehadiran Burhan hanya karena saat itu kekasihnya masih berstatus pengangguran. Penghinaan yang telah dilontarkan ibunya telah membuat batin Tia terluka. Kenyataan itu pulalah yang membuat Tia seakan tak bergairah lagi untuk menikah. Kini, tragedi itu kembali terjadi. Menimpa adik semata wayangnya.
“Mungkin Tari mengira selama ini Teteh sengaja memilih kost karena ingin bebas. Tari, saat ini kita berdua sama-sama telah dewasa”. Tia terus saja bersemangat mengungkapkan perasaannya. Berharap adiknya bisa memahminya. Maklumlah, selama ini Tari selalu berprasangka dirinya sengaja tak mau serumah dengan orangtuanya hanya karena ingin bebas.
“Hhhhmmm....” Desah Tari tak bergairah. Pikirannya melayang jauh. Wajah Ichsan, kekasihnya, terlihat begitu jelas menatapnya.
“Suatu saat kelak, cepat atau lambat, kita akan menikah. Di saat itulah kita membutuhkan orangtua yang mau memberikan kesempatan kepada anaknya untuk menentukan pilihan hidupnya. Namun di saat kita menyadari adanya perbedaan pendapat antara kita dengan orangtua tanpa alasan yang jelas, maka kita pun harus berani mengambil sikap. Makanya Teteh memilih kost agar privacy Teteh bisa terjaga sampai suatu saat Teteh dapat mencari jalan keluar atas keputusan tersebut”.
Tari hanya memandang dengan tatapan dingin. Sorot matanya kosong. Telaga cinta yang ingin direngkuhnya seolah terseret diterpa badai. Wajah Ichsan kembali menyembul di sela-sela pikirannya. Namun semua itu laksana percikan bara api yang menyemburkan fatamorgana dan membiaskan luka yang teramat dalam.
“Perlu Tari sadari, kita nggak akan pernah bisa menikmati kebahagiaan selama Ibu selalu ingin ikut campur. Dan sampai kapan pun kita nggak akan pernah diberi kesempatan untuk menentukan jalan hidup kita. Di sinilah kita dituntut untuk bijak. Apalagi kita berdua tahu sifat Ibu yang selalu ingin menguasai. Sementara Ayah, nggak mungkin bisa kita andalkan. Ayah selalu saja kalah dengan keputusan Ibu”.
Tari masih saja diam. Kini wajah ibunya datang silih berganti dengan wajah Ichsan, kekasihnya. Sesaat Tia tercenung. Ditatapnya wajah Tari dengan senyum getir. Terkadang Tia suka sedih tatkala mengingat sikap ibunya yang telah mengingkari cahaya kebenaran dengan menganiaya jiwanya pada sandaran materi. Tentang kekecewaan ibunya terhadap masa lalunya hanya karena merasa gagal mendapatkan suami yang sesuai dengan khayalannya. Kecewa karena ayah hanya mampu membawa ibu dari dapur, sumur dan berakhir di kasur. Lantas, ibunya pun memanamkan keinginannya melalui kedua anak gadisnya yang harus mendapatkan suami tidak seperti ayahnya.
“Terkadang Teteh suka sedih bila menyaksikan Ayah yang selalu memilih sikap diam dan cenderung mengalah hanya karena merasa telah kehilangan wibawa ketika berhadapan dengan sikap Ibu. Tapi Teteh sebenarnya juga iba bila melihat kondisi Ayah yang tak lagi bergairah, sehingga kita seakan telah kehilangan figur seorang ayah”.
Tari tetap bungkam.
“Terkadang Teteh berkhayal alangkah bahagianya bila kita mendapatkan sosok ayah yang mampu menjadikan dirinya sebagai pelindung di saat kita membutuhkannya. Itulah sebabnya hingga saat ini Teteh belum bisa menemukan sosok lelaki yang dapat menandingi kemandirian Burhan”.
Tari tetap diam. Memang, selama ini Tari lebih banyak menjadikan ibunya sebagai tolok ukur keputusannya dan menganggap semuanya pastilah baik buat masa depannya. Tari jarang sekali bercengkrama dengan ayahnya. Dalam setahun, paling dua-tiga kali saja mereka berkomunikasi. Itu pun sekedar menanyakan tentang keadaan Tari di Bandung.
Tari jadi teringat bagaimana gaya Ichsan, kekasihnya, dapat duduk berduaan bersama ayahnya kala menjenguknya ke Bandung. Ayahnya yang pendiam bisa betah berlama-lama duduk bercengkrama dengan kekasihnya. Kenyataan itu pulalah yang telah membuat hati Tari lega. Ichsan, kekasihnya, mampu meluluhkan kebekuan ayahnya hanya karena mereka berdua memiliki kebiasaan yang sama, yaitu perokok.
“Nak Ichsan, saya titip Tari, ya... Tolong dijaga dengan baik, karena Bapak khawatir meninggalkan Tari sendirian di Bandung. Maklumlah, Tari di sini kan kost. Sementara keluarga Tari jauh”.
“Ya, Pak. Kebetulan saya juga anak kost dan keluarga saya jauh di seberang sana. Makanya saya butuh teman dekat yang mau berbagi dengan saya. Saya sangat mencintai Tari, Pak. Kewajiban saya adalah menjaganya”, jawab Ichsan menyakinkan ayah Tari.
“Bapak percaya denganmu, Ichsan. Perlu Ichsan sadari kalau Tari sebenarnya nggak biasa pisah dengan ibunya. Tapi karena Tari bekerja di Bandung, mau nggak mau mesti pisah juga dengan kami. Jadi siapa lagi yang Bapak percaya untuk menjaganya kecuali sama nak Ichsan sendiri”. Pesan itu masih segar dalam ingatan Tari saat ayahnya pamitan pulang ke Ciceuri.
***
Tari, selain cantik, juga memiliki sikap keibuan. Sebenarnya Tari merupakan tempat Tia bermanja-manja, karena hubungan dengan ibunya ibarat yang satu ke utara dan yang lainnya ke selatan. Bak kucing dengan tikus. Makanya Tia biasanya lebih rela menghabiskan uangnya hanya karena ingin menemui adiknya di Bandung. Namun, karena kesibukannya, Tia sudah jarang berkunjung ke Bandung sampai akhirnya dia mendengar kabar dari ayahnya bahwa adiknya telah memiliki gacoan. Bagi Tia, ini merupakan surprice.... Tia jadi ingin tahu tipe cowok idaman adik semata wayangnya itu.
Tia jadi teringat kala berjumpa untuk pertama kalinya dengan Ichsan. Ternyata karakternya jauh berbeda dengan adiknya. Ternyata Ichsan seorang yang tegas dan mandiri, tapi cenderung tidak romantis. Sosok lelaki yang sebenarnya lebih memiliki karakter impiannya. Dalam tempo beberapa menit saja mereka telah larut dalam obrolan panjang dan ngalor ngidul.
“Wow.... ternyata asyik juga ngobrol dengan kamu”. Ungkap Tia disela-sela perkenalan pertamanya. Dan yang membuat hati Tia tenang manakala melihat kebahagiaan terpancar di rona wajah Tari, adiknya. Sambil menyimak permbicaraan mereka, sesekali Tari dengan manjanya memeluk dan mendekap Ichsan dalam kelembutan yang sempat membuat hati Tia cemburu.
“Koq kalian bisa nyambung, ya... Kayak bumi dan langit, gitu lho...”, sela Tia sambil terbahak.
“Tapi, abangku ini orangnya romantis, lho. Apalagi bila berduaan. Iya kan, Bang....?”, sentil Tari manja.
“Iya.... Apalagi kamu. Alim di tempat ramai, tapi agresif bila berdua”, ungkap Ichsan yang tak mau kalah. Tari tersipu sambil mencubit pipi Ichsan, kekasihnya.
“Teh, kami sekarang udah punya TV dan alat-alat rumah tangga. Abang yang belikan buat Tari. Kan kami mau menikah. Jadi sia-siap, gitu lho... Maklum, anak kost”, ungkap Tari manja. Cara berbicara Tari memang tak pernah berubah, guman Tia.
“Ichsan, aku ingin menitip Tari denganmu. Karena kulihat Tari sangat bahagia bila berada di dekatmu. Tolong jaga adikku ini dengan baik, ya....Jangan khianati cintanya. Kamu adalah cinta pertamanya. Perlu kamu sadari bahwa jiwa Tari terlalu rapuh untuk disakiti”.
“Saya juga ingin berterus-terang kalau saya begitu mencintai Tari. Dia adalah cinta sejatiku, walau Tari bukan cinta pertamaku. Kelembutan jiwanya telah meleburkan jiwaku ke dalam dahaga cinta yang bermakna. Dan saya tidak ingin bermain-main dengan masalah ini”, jawab Ichsan tegas.
Tia menjadi lega setelah mendengar pengakuan tegas dari Ichsan yang duduk persis di depannya itu. Pengakuan dari seorang lelaki yang terlihat begitu mandiri dan siap menantang badai kehidupan bersama kekasihnya. Seorang lelaki yang telah berhasil memberikan sandaran cinta bagi hati Tari yang mempesona. Sosok lelaki yang karakternya mirip dengan Burhan.
Aahhhh..... Mungkin aku terlalu berlebihan karena terbawa kenangan di masa silam. Atau mungkin, karena mereka sama-sama dari seberang. Entahlahhh....
Diakui, selama ini Tia adalah tempat Tari bermanja, sehingga Tia selalu menyediakan waktunya untuk mendengarkan semua gejolak hati adiknya itu. Bahkan Tia rela menghabiskan waktunya berjam-jam hanya karena ingin mendengar suara lembut adiknya itu.
Tapi kini, sikap Tari berubah drastis. Tari telah terlihat sebagai seorang wanita dewasa yang periang dan bisa dengan mudah terbahak-bahak bila mendengar sesuatu yang menggelitik. Tari bukan lagi adik kecil yang dikenalnya dulu, manja dan kolokan. Namun, tetap ada yang tidak berubah dari sosok Tari, yaitu wajahnya yang putih mulus dan tetap memancarkan rona kemerah-merahan kala tertawa.
“Ooohhh, Tari, adikku sayang. Dahagakanlah dirimu dengan segelas anggur cintamu. Berlayarlah engkau menuju samudera cinta. Rengkuhlah manisnya madu kasih yang telah engkau rajut bersama kekasihmu“. Desah Tia di lubuk jiwanya.
***
Kini jiwanya meronta. Jeritannya seakan tak lagi terdengar. Bahkan oleh Tuhan sekali pun. Tuhan seakan pergi menjauh dan tak lagi peduli akan kegalauan cinta pertamanya. Tari seakan terseret dalam pusaran kematian yang menakutkan.
“Wahai Tuhan yang jauh di atas sana.... Kenapa kau biarkan aku didera oleh kesakitan cinta. Bukankah Engkau yang telah mengajari aku bahwa cinta adalah tunas pesona jiwa yang terangkum dalam satu helaan napas. Tapi kini, ketika aku telah mulai bisa memahaminya, Kau renggut dari impianku. Jawablah aku, wahai Tuhan. Kenapa Kau rajut aku dalam kehampaan. Janganlah Kau biarkan aku bak seorang pelukis yang melukis di atas khayangan...” Tak kuasa rasanya Tari ini menahan asmara yang berkecamuk di jiwanya.
Tari kembali tercenung. Tatapan wajahnya kembali kosong. Sosok ibu yang selama ini menjadi idolanya pupus ditelan kegetiran. Kini, ibunya telah merenggut kebahagiaannya sebagai seorang wanita. Entah sampai kapan ibunya bisa memahami bahwa kebahagiaan seorang wanita bukan terletak pada kecukupan materi semata. Bukan pula pada kehormatan dan kelembutannya. Tapi pada cinta yang memadukan jiwanya dan jiwa kekasih yang dicintainya, yang tercurah dalam satu kalimat di atas bibir Tuhan. Karena cinta itu turun ke dalam jiwa kita sebagai anugerah Tuhan dan bukan atas kehendak manusia.
***
“Duhai cinta yang nestapa.... Kenapa kau rengkuh aku dalam ketiadaan. Kenapa kau suguhi aku dengan cawan keperihan setelah kau buai aku dalam kelembutan cinta”. Kembali mata Tari berkaca-kaca.
Senja kian memerah. Tari masih saja termangu di sudut kamar kost kakaknya. Wajahnya pucat tak bergairah. Jiwanya terasa letih setelah terseok-seok dihempas oleh kebekuan sikap ibunya. Cinta yang telah dengan susah payah dirajutnya bersama Ichsan, kekasihnya, pupus dalam satu hentakan sikap keras ibunya.
Tari bukanlah tipe wanita pemberontak. Jiwanya yang cenderung penurut telah mengalahkan hasrat cintanya yang rapuh dan terserak di atas altar keperihan. Tari telah gagal mempertahankan bahtera cinta yang ingin dilayarinya bersama Ichsan, kekasihnya. Hatinya teriris. Pandangannya hampa. Tari bahkan merasa asing terhadap dirinya sendiri. Mungkin inilah yang disebut orang dengan pengorbanan cinta. Entahlah......
Tak ada lagi yang dapat Tari lakukan selain mengeluarkan jeritan duka yang mengiris pilu dari bilik-bilik dadanya. Pandangan matanya seakan meneriakkan bayang-bayang penderitaan. Matahari pun menyelinap ke peraduannya seakan sudah bosan dengan kepenatan manusia yang telah didera oleh keputusasaan. Sementara kicauan burung di luar sana seakan mendendangkan tembang kematian bagi cintanya yang kandas di kaki ibunya.***
Simpang Dago, 23 Desember 2000
(Buat seseorang yang jauh di sudut sana)
0 komentar:
Posting Komentar