Rabu, Oktober 15, 2008

Edisi Maret 2008

Yang Terhormat Masa Laluku
Oleh : Senapelan MT
senapelan_mt@yahoo.co.id



Wahai masa laluku, aku minta maaf bila kehadiran suratku ini mengejutkanmu, karena ini di luar kebiasaanku. Namun keinginan yang begitu besar agar tetap dapat berkomunikasi denganmu, telah mendesak perasaanku untuk melakukannya. Menyediakan fasilitas bagi perasaanku, agar aku bisa merasa mendapatkan ruang yang sebenarnya tak layak bagi diriku. Sebuah keinginan yang tulus dari seorang anak manusia yang pernah hidup denganmu.


Untuk itu, izinkanlah sejenak aku bercerita agar jiwa ini merasa terpuaskan. Agar batin ini kembali merasa mendapatkan tempat untuk bercengkerama bersama bisunya sang waktu. Memadu asa bersama semesta agar diri ini dapat bersandar barang sejenak. Bercerita tentang sebuah jiwa yang ingin mencoba untuk kembali bangkit setelah sekian masa terabaikan. Setelah terkurung oleh desakan sang waktu dan terhempas di sudut kedukaan, hingga sayap-sayap jiwa ini pun terluka.
***
Waktu terus saja bergulir. Sejarah perjalanan hidupku selalu saja diwarnai dengan suasana haru biru. Badai yang teramat besar telah membuat gelombang kehidupanku terus saja menghempas, di punggung bahtera hidupku. Aku merasa lelah. Lelah sekali. Akibatnya, aku selalu terdampar di dalam ketidakpastian. Menanti redanya sang badai hingga aku kembali dapat berlayar mengarungi samudera kehidupan.

Namun, ada sebuah cacatan penting dalam sejarah perjalanan hidupku di saat aku terdampar di bibir pantai kehidupan itu. Di saat aku merasa bahwa aku tak perlu lagi berlayar menanti redanya sang badai. Bahwa aku harus menambatkan bahtera itu dan mencoba menyelusuri bibir pantai dengan harapan dapat menjadi bagian dari pantai kehidupan yang kusinggahi.

Di saat aku bertemu denganmu dan mencoba untuk menjadi bagian dari hidupmu, hingga telah meyakinkan perasaanku bahwa ku tak perlu lagi berlayar dan tak lagi membutuhkan bahtera itu. Bahtera yang selama ini telah setia menemaniku, pun, kubakar. Aku telah menemukan sebuah pulau impian dan ingin menjadi penghuni pulau impian itu, bersamamu.

Di saat aku sedang mencoba untuk memberanikan diri membangun sebuah rumah kehidupan bagi masa depanku, badai tetap saja tak reda. Bahkan, badai itu, telah mulai memasuki pulau impianku dan menghempas rumah masa depanku. Aku tersandar tak berdaya. Hampir seluruh tenaga hidupku terkuras sudah. Aku hanya mampu memandangi puing-puing kehidupanku dengan luruh. Alam yang selama ini terlihat ramah seolah menjadi bayangan kelam dan terus menghantui rumah masa depanku.

Aku termangu tak berdaya. Semilir angin di masa lalu hanya mampu menghembuskan bayang-bayang kepedihan. Mengenangmu, hanya laksana melihat percikan api yang menyemburkan fatamorgana dan membiaskan luka yang teramat dalam. Desakan emosiku terus saja berlari hingar-bingar mengitari dan menendang dinding batinku. Menyembul di antara riak-riak perasaanku yang telah patah. Aku terus saja berjalan di bibir pantai impian itu, mengelinyang terseok-seok dan terhempas di tanah kepedihan.

Tak ada lagi harapan bagi kehidupanku bila aku tetap bertahan di pulau impian itu. Dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki, kucoba untuk kembali mencari bahtera kehidupan itu dengan harapan yang tak menentu. Tak ada jalan lain yang dapat kutempuh. Aku terpaksa mengarungi samudera kehidupan ini dengan tersendat. Mencari arah untuk kembali. Kuselusuri satu per satu lorong kehidupan agar aku bisa kembali ke pulau masa laluku. Sebuah pulau yang telah membesarkan hidupku sebelum aku mengenal pulau impian yang telah mencampakkan harapanku.

Di dalam asa yang telah tercabik dan dengan sisa-sisa jiwa yang telah pupus, aku melihat seberkas cahaya lembut di balik kepekatan arah yang memancar dari kaki cakrawala. Sebuah titik kehidupan di samudera luas yang kian mendekat dan terus saja mendekat, menghampiriku. Sebuah bahtera harapan melintas, mengulurkan tangan sambil mencoba menyelamatkanku. Membimbingku menuju pulau masa laluku.

Secercah asa kembali menggema, hingga aku seolah kembali menemukan jalan baru dalam menggapai asa yang telah sirna. Bahtera itu pulalah yang menunjukkan ke arah mana aku berjalan. Mengajari aku ke mana harus melangkah.

***
Wahai masa laluku ………..

Kau ajari aku makna kesendirian di saat aku bersandar tak berdaya di pohon kedukaan dan bermandikan debu kehinaan. Kau tegukkan air batin yang kau ambil dari mata air Keabadian ketika jiwaku terbaring dahaga. Kau ajari aku dengan kesabaranmu tentang kesetiaan ketika aku mengingkari alam hingga terkuaklah tabir rahasia kehidupan.

Wahai masa laluku ………..

Kau dendangkan syair simphoni dengan kebijaksanaan-Nya, sehingga langit pun turut berucap, “Berusahalah untuk menahan duka derita dan luka. Tunjukkan semangatmu. Bila kau terluka, terimalah dengan tabah dan janganlah perturutkan sikap yang mengasihi diri sendiri”.

Kini, setelah aku mengalami hampasan demi hempasan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini, akhirnya badai yang teramat besar itu mulai terasa mereda. Sebuah rumah kehidupan melambaiku dengan ramah dan mencoba untuk mengajakku kembali mengejar ketertinggalanku di masa lalu. Membimbingku dengan sabar agar aku kembali merasa yakin bahwa asa itu masih ada. Bahwa alam masih mau menerima sayap-sayap jiwaku yang telah patah.

Banyak sekali pembelajaran batin yang kutemukan di saat aku kembali bersahabat dengan alam. Aku telah diajari alam untuk menyelusuri rimba-rimba kehidupan yang begitu banyak menyimpan mutiara harapan, yang selama ini telah kuabaikan di pulau masa laluku. Matahari kembali tersenyum dan menampakkan wajahnya setelah sekian lama bersembunyi di balik tirai mendungnya sang mega. Kembali, rahasia hidup dapat terpecahkan setelah kucoba untuk menembus pekatnya sang waktu. Alam pulalah yang kembali membimbingku, ketika aku tak lagi merasa memiliki jalan menuju rumahku di masa lalu. Ketika aku tersesat di persimpangan jalan.

Aku pun jadi teringat tatkala aku hendak berpisah dengan masa laluku, dekade silam. Rumahku sempat berkata, “Janganlah kau pergi meninggalkan diriku, sebab di sini tinggal masa lalulu”. Sedang jalanku berkata kepadaku, “Mari, ikutlah denganku. Sebab aku adalah masa dpanmu”. Namun, kepada rumahku dan jalanku aku berujar, “Aku tak punya masa lalu, pun masa depan. Jika aku tetap tinggal di sini, akan ada yang pergi. Tapi, jika aku pergi, akan ada yang tetap tinggal. Hanya cinta dan kematianlah yang mampu mengubah segalanya”.

***
Begitulah ….. Kini aku telah kembali kepadamu. Kepada masa laluku, tanpa harus merasa kehilangan masa depanku. Ketakutanku memikirkanmu, wahai masa laluku, kini telah dijawab oleh alam dan alam pun dengan sabar terus membimbingku mengejar masa depan tanpa harus memakimu, wahai masa laluku.

Akhirnya, kepada Tuhan dan kepada alam ingin kupersembahkan rasa hormatku yang tak terbalaskan oleh semesta raya. Kepada semua makhluk alam yang telah bersedia membantu membimbingku kembali ke pangkuan semesta. Kepada Ruh Suci yang terus saja dengan sabar mengisi ruang batinku.

Terima kasih Tuhan…. Terimalah sujudku dalam hamparan kekerdilan jiwaku yang telah keliru memandang wajah-Mu. Terima kasih kuhaturkan kepada masa depanku tanpa harus meninggalkanmu, wahai masa lalulu.
***

Bukit Senapelan, 25 Agustus 2001
(Hatur nuhun buat saudaraku, Dudi dan Ali di Bandung)



0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran