Minggu, Agustus 09, 2009

Edisi Agustus 2009

Kota dan Dinamika Kebudayaan :
Peluang dan Tantangan
Menjadikan Pekanbaru Sebagai
Pusat Kebudayaan Melayu
di Asia Tenggara 2021

Oleh : Prof.Suwardi Ms dan Drs.Isjoni,Msi
(Ketua dan Sekretaris MSI Cabang Provinsi Riau)

Makalah disajikan pada Konferensi Sejarah Nasional VIII,
tgl.14-17 November 2006, Hotel Milenium Jakarta



I. Pendahuluan

Merujuk kepada topik makalah ini yaitu, “Kota dan dinamika kebudayaan: Peluang dan tantangan menjadikan Pekanbaru sebagai Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara 2021”, perlu diklarifikasi berbagai konsep yang tertera pada topik makalah tsb.

Kajian ini yaitu bagaimana hubungan kota dalam proses perjalanannya dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan sebagai (1) wujud suatu kompleks gagasan, konsep, pikiran manusia; (2) wujud sebagai suatu kompleks aktivitas; (3) wujud sebagai benda (Kuntjaraningra, dalam Alfian, editor, 1985:100).

Michael R. Dove (1985:xv) berpendapat pula :
“Kebudayaan tradisional terkait erat dengan, dan secara langsung menunjang, proses sosial, ekonomis, dan ekologis masyarakat secara mendasar, lebih dari kebudayaan tradisional bersifat dinamis, selalu mengalami perubahan, dan karena itu tidak bertentangan dengan pembangunan itu sendiri”.
Bahwa kebudayaan merupakan proses dinamika yang memerlukan kritisasi yang mendalam untuk menemukan makna yang diperlukan dalam kelangsungan hidup manusia dan masyarakat secara keseluruhan.Kota sebagai suatu bentuk konsentarasi kehidupan masyarakat yang berbeda dari kehidupan di desa; kota memiliki ciri-ciri antara lain masyarakatnya majemuk (heterogen), kehidupannya dinamis, individualitas, modern lebih dominan, dsb.

Peluang dan Tantangan diklarifikasi sebagai berikut :
Peluang ialah segala potensi dan kemudahan yang memungkinkan Kota Pekanbaru menjadi pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2021.
Tantangan ialah segala yang menghambat dan menimbulkan kesulitan/masalah tercapainya visi tsb.

Kota Pekanbaru telah mengalami perjalanan sejak 1784 sampai 2005 (Suwardi Ms, dkk.2006). Dalam proses perjalannan itu telah ditetapkan Visi Pekanbaru pada 2021, yaitu :
“Terwujudnya Kota Pekanbaru , sebagai pusat perdagangan dan jasa, pendidikan, serta pusat Kebudayaan Melayu, menuju masyarakat sejahtera yang berlandaskan iman dan taqwa pada tahun 2021”. (Makalah Herman Abdullah Wali Kota Pekanbaru, pada Seminar 2005 di Pekanbaru).
Sumber kajian dari penulisan buku “Dari Kebatinan Senapelan ke Bandaraya” Pekanbaru oleh Suwardi Ms dkk (2006). Buku ini merupakan revisi dari buku Sejarah Kota Pekanbaru hasil susunan Bapak Wab Ghalib.

Sumber tertulis tsb dilengkapi dengan berbagai dokumen lainnya. Berbagai ciri-ciri dan karakteristik kota sehingga nampak pada setiap babakannya. Pembahasan meliputi :

1. Pendahuluan;
2. Pekanbaru dari Kebatinan Senapelan menjadi Bandaraya (metropolitan);
3. Kebudayaan Melayu dan berbagai unsurnya;
4. Peluang dan Tantangan menjadikan Pekanbaru pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2021;
5. Kesimpulan dan saran
6. Penutup

Marilah kita ikuti secara lebih kritis pembahasan berikut.

II. Pekanbaru dari Kebatinan Senapelan menjadi Kota Besar/ Bandaraya (Kota Metropolitan)

1. Kebatinan Senapelan / Payung Sekaki

Diperkirakan sekitar abad ke 15 M berdiri Kampung Payung Sekaki dialiran Sungai Siak, yaitu suatu lokasi yang merupakan ladang-ladang yang lambat laun menjadi perkampungan. Kampung ini dihuni oleh suku Senapelan, dikepalai oleh Batin. Kampung ini mulanya bernama Kampung Palas. Selanjutnya kampung ini kemudian dipindahkan ke daerah lebih tinggi dari permukaan air, di situ terdapat sebatang pohon yang rindang dan tinggi, dari jauh kelihatan sebagai Payung Sekaki, kemudian nama kampung itu bernama: Batin Senapelan, terkenal sebagai Senapelan. Menurut E.Netscher dalam bukunya: “De Nederland in Djohor en Siak (1602-1865)”, Senapelan dikenal Chinapella terkadang juga disebut Sungai Pelam.

Pemerintahan Senapelan pertama Bujang Sayang, sekaligus menjadi kepala sukunya dan telah mengorganisasi daerahnya dalam bentuk pemerintahan sederhana. Senapelan semakin berkembang dan pada suatu masa terjadi persaingan dengan negeri Petapahan di muara sungai Tapung.

Pada masa kekuasaan Melaka, dibawah pemerintahan Sultan Mansyursyah (1459-1477). Sungai Siak sampai ke Petapahan penting, dan penguasa daerah itu bergelar Syarif Bendahara. Penaklukan Melaka oleh Portugis 1511 M, pusat pemerintahan dipindahkan ke Djohor-Riau. Pemerintahan Djohor membentuk Syahbandar di Senapelan, pejabatnya bergelar Syahbandar (Datuk Bandar).

Kekuasaan Portugis di Melaka diteruskan oleh Belanda sejak 1641 M dan perjanjian itu diperbaharui pada 1689. Senapelan menjadi tempat penumpukan komoditi perdagangan, baik dari luar maupun dari pedalaman. Barang-barang dari pedalaman seperti : timah, emas, kerajinan dari kayu dan hasil hutan. Barang-barang dari luar berupa kain, telor, ikan terubuk, pecah-belah dan barang keperluan lainnya. Kondisi ini berlangsung sampai tahun 1721. Selanjutnya sejak 1722 berdiri Kerajaan Siak Sri Indrapura. Belanda melakukan hubungan dagang dengan Siak.

Senapelan menjadi pintu gerbang perdagangan dan pelabuhannya berada di Teratak Buluh. Seterusnya dibangun jalan darat dari Boncah Laweh ke hulu sungai Senapelan. Senapelan pintu gerbang dari Tapung ke Kampar Kiri dan ke pedalaman Minangkabau dan jalan darat baru dibangun pula dari Tenggkerang ke Payung Sekaki. Alat pengangkut di jalan darat itu berupa kuda. Peran senapelan menjadi makin menonjol dalam lalu lintas perdagangan. Sultan Siak Alamuddinsyah merintis berdiri “pekan” di Senapelan. Sultan Alamuddin meninggal dunia pada tahun 1765.

2. Senapelan / Pekanbaru menjadi ibu kota Kerajaan Siak

Kebijakan itu dilanjutkan oleh putranya Raja Muhammad Ali bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsyah.Usaha mengembangkan pekan itu berjalan lambat, lokasi dipindahkan ke tempat yang baru yaitu di pelabuhan sekarang. Menurut Catatan Imam Suhil, bahwa pekan yang baru itu resmi didirikan sejak hari Selasa 21 Rajab 1204 H bersamaan dengan 23 Juni 1784 M, sejak itu nama Senapelan sudah ditinggalkan berganti dengan Pekan “Baharu”, atau lebih dikenal tulisannya “Pekan Baru.” Ibu kota Siak sejak 1784 itu berada di Pekanbaru. Sejak itu hubungan Pekanbaru dengan pedalaman semakin ramai. Pekanbaru semakin ramai dan menjadi tempat pertemuan pedagang-pedagang dari Selat Melaka, Minangkabau, Petapahan.

Perjalanan pemerintahan Siak yang semula keturunan Melayu sampai Sultan Yahya, meninggal pada 1784 M di Dungun, Terengganu (Malaysia), dan selanjutnya Siak dipimpin oleh dinasti baru keturunan Arab, yaitu Sultan Assyaidis Syarif Ali Abdul Jalil Syaifuddin. Sultan ini memperluas kekuasaannya sampai ke Temiang (Aceh) yang terkenal dengan jajahan dua belas. Setelah Sultan Syarif Ali menjadi Sultan Siak Raja Muda Muhammad Ali pindah kembali ke Pekanbaru sampai akhir hayatnya sekitar tahun 1789. Datuk Syahbandar Pekanbaru yaitu Datuk Syahbandar Agam, Datuk Abdul Jalil, Datuk Syahbandar Ahmad dan Datuk Syahbandar Konil.

3. Pekanbaru menjadi ibukota propinsi dari sepuluh Propinsi Siak

Menurut kitab Babul Qawa’id (Pintu segala pegangan), kerajaan Siak dibagi menjadi 10 propinsi, salah satunya propinsi Pekanbaru. Khusus watasan propinsi Negeri Pekanbaru dari Sungai Lukut mengikuti sebelah kanan mudik Sungai Siak sampai Kuala Tapung Kanan dan Sungai Pendanau sebelah kiri mudik Sungai Siak sampai ke Kuala Tapung Kiri dan naik ke darat lalu ke Teratak Buluh dan ketiga kampung, yaitu Lubuk Siam, Buluh Cina, dan Buluh Nipis sehingga sampai ke Tanjung Muara Sako watasan dengan Pelalawan dan sampai ke Pematang Bangkinang watasan kampar Kiri di negeri Gunung Sahilan dan sampai Sungai Air Gemuruh Tanjung Pancuran Batang watasan dengan negeri Tambang dan sebelah darat sampai berwatasan dengan negeri Kampar Kanan dan Lima Koto.

Propinsi Negeri Pekanbaru dikepalai oleh Datuk Syahbandar yang mempunyai kewenangan sebagai kepala pemerintahan, kehakiman dan kepolisian. Dalam garis vertikal ke bawah terdapat penghulu, kepala suku, dan batin. Kekuasaan mereka sebagai mengepalai suku (Clan). Batin Senapelan berwewenang dari Senapelan sampai ke Palas. Kedudukan Pekanbaru sebagi ibu kota Propinsi sampai tahun 1916.

4. Pekanbaru sebagai kedudukan districthoop 1916-1942

Sebagai kedudukan Districthoop Pekanbaru dipimpin Datuk Pesisir Muhammad Zen dan membawahi 3 onderdistricthoop yaitu Onderdistrict Senapelan yang dirangkap oleh districthoop sendiri, onderdistrict Tapung Kiri dikepalai Tengku Sulung Perwira dan Onderdistrict Tapung Kanan dikepalai Abdul Jalil.

Jabatan Disricthoop dan Onderdistricthoop memegang kekuasaan pemerintahan, kehakiman dan kepolisian. Juga ada jabatan jaksa, ajun jaksa dan cranie (juru tulis). Onderdistrict Pekanbaru terdapat dua kepenghuluan yaitu Kampung Dalam dan Kampung Baru.

Di pinggiran kota terdapat pula kampung Palas, sebagai penghulunya Batin Senapelan terakhir yaitu: Muhammad Yasin, penggantinya anaknya yaitu Nontel. Di selatan tumbuh kampung baru yaitu Kampung Simpang Empat dan kampung Perhentian Nyamuk, masing-masing dipimpin penghulu sampai 1931.

Pekanbaru masuk Onderafdeeling Siak dan selanjutnya masuk Onderafdeeling Kampar Kiri, kepalanya Controleur. Tugas Controleur mengawasi dan mengoreksi pemerintahan kerajaan. Controleur bertugas menjalankan pemerintahan langsung terhadap rakyat Gubernemen Hindia Belanda.

Kepala/pimpinan Orang China disebut Kapitein der Chineezen, lidah Melayu menyebutnya kapiten China. Pengganti Datuk Muhammad Zen ialah Datuk Comel (1921), digantikan oleh Datuk Wan Entol, gelar Datuk Sri Amar Perkasa (1925). Sumber dana khusus untuk kebersihan dan perawatan kota dipungut dari penduduk dan pasar. Untuk itu diadakan dana Plaatselijik Fonds (dana lokal), merupakan emberio lahirnya suatu gemeente.

Kondisi Pekanbaru merupakan kumpulan dari rumah-rumah yg sebagian besarnya adalah kedai-kedai. Tempat perhentian (bangku-bangku kayu) berkembang menjadi warung atau lapau. Masa Datuk Syahbandar Konil pemukiman diperluas ke hilir yang dikenal sebagai Tanjung Rhu. Perluasan kampung mengikuti sungai secara memanjang. Dibelakang perkampungan dijadikan tempat bercocok tanam.

Pada masa pemerintahan Siak dibawah Sultan Hasyim mulai masuk pengusaha-pengusaha Belanda membuka kebun karet di selatan kota Pekanbaru yaitu kebun karet Sukajadi dan kebun karet Cinta Raja. Area kebun itu di Kampung Dalam, Kampung Baru, Kampung Bukit dan kampung lainnya sepanjang sungai Siak.

Pada masa Sultan Siak Sultan Kasim, Pekanbaru menjadi ibukota District Pekanbaru dan Onderdistrict Senapelan. Bangunan resmi mulai dilaksanakan yaitu: rumah districthoop di kampung Bukit, Balai (kantor) districthoop, rumah penjara, jalan-jalan kota yaitu jalan Senapelan sekarang, jalan dimuka Mesjid Raya, jalan pasar kompleks Pasar Bawah sampai ke pelabuhan dan terus ke kampung Dalam. Pemerintah Belanda membangun pula kantor BOW (PU), kantor polisi, rumah kediaman Haven-meester dimuka pelabuhan. Pembangunan dilakukan masa pemerintahan Muhammad Zen dan dilanjutkan oleh Datuk Wan Entol (1926-1931). Berikutnya dibangun pula jalan-jalan seperti di belakang Mesjid Raya, sekeliling lapangan bola Kampung Bukit, Jalan Saleh Abbas, Jalan Padang Terubuk, Jalan Guru yang menambah luas kota. Selanjutnya dibangun pula lapangan terbang Simpang Tiga dan melaksanakan pembangunan Mesjid Raya.

Pertambahan penduduk diarahkan membuka usaha pertanian meliputi perkebunan gambir, lada dan karet. Komoditi lainnya berupa hasil hutan : rotan, damar, kayu, getah, perca, dsb. Pekanbaru tidak memiliki hasil untuk kebutuhan makanan dan keperluan itu didatangkan dari Singapura.

Pada tahun 1930 kedudukan Controleur dipindahkan dari Kampar Kiri ke Pekanbaru. Perkembangan kota cukup pesat dan mendorong penduduk membangun gedung-gedung toko di Pasar Bawah, rumah penduduk dipinggir jalan. Masa kekuasaan Districthoop Datuk Wan Abdurrakhman diperluas kota kearah timur menuju sungai Sail, yaitu dari RRI ke jalan Tanjung Datuk (sekarang), juga dirintis jalan ke selatan, tetapi belum terlaksana, pecah Perang Asia Timur Raya.

5. Pekanbaru menjadi ibu kota Provinsi Meliter (Riau Syu) Jepang (kedudukan Cokang)

Pekanbaru diduduki Jepang dan dijadikan ibu kota pemerintahan meliter Jepang untuk Riau Daratan disebut Riau Syu dan dipimpin oleh seorang yang disebut Cokang. Kedudukan Pekanbaru dapat disejajarkan dengan ibu kota Provinsi meliter. Pemerintahan sultan-sultan dan raja-raja dibekukan. Struktur pemerintahan itu (lihat lampiran). Pemerintahan meliter Jepang berusaha menjepangkan penduduk.

Jepang memaksakan keinginannya untuk merubah norma-norma Jepang, misalnya rakyat menghormati meliter Jepang, menerima segala perintah dan melaksanakannya, kesalahan dibayar dengan tamparan, caci maki, pegawai dan murid harus seiukerek ke matahari terbit, mempelajari bahasa Jepang,pendidikan umum berjalan seperti biasa, diarahkan untuk bahasa dan bercocok tanam, pendidikan khusus pegawai. Kesehatan rakyat tidak diperhatikan, berkembang penyakit malaria, penyakit kulit.

Penderitaan semakin tak terkendali, terutama akibat pembangunan jalan kereta api dari Pekanbaru ke Ombilin. Makanan dan pakaian tidak dijumpai di pasar dan perdagangan terhenti. Para ulama mula-mula diperhatikan untuk membantu Jepang dalam perang, penderitaan terus berlanjut sampai Jepang menyerah kepada sekutu.

6. Pekanbaru menjadi ibu kota Keresidenan Riau

Berita proklamasi kemerdekaan diterima di Pekanbaru dan ditunjuk Aminuddin sebagai residen tetapi beliau tidak menerima dan malah masuk kepihak Belanda. Pemuda-pemuda PTT bertekad pantang mundur. Ketegangan terjadi di PTT dan mereka mengadakan mogok. Kota Pekanbaru sangat panas dan penuh bahaya. Pemuda PTT berunding dan sepakat bahwa Merah Putih harus dikibarkan. Pengibaran berlangsung tgl.15 September malam hari pada jam 23.30. Bendera Merah Putih akan dikibarkan di gedung PTT tetapi bendera tsb. masih di selubungi. Setelah kehadiran Pemuda PTT, undangan dan termasuk Tugimin dari kepolisian, seterusnya Basrul Jamal dan Abuslim menyampaikan penjelasan tentang upacara tsb. Selubung bendera itu dibuka oleh Danialsyah diiringi lagu Indonesia Raya. Pengibaran itu berlangsung haru dan hidmat.

Selanjutnya dilakukan pembahasan langkah-langkah yang akan dilakukan. Langkah utama yaitu mengibarkan Bendera Merah Putih secara resmi di gedung kantor pos Pekanbaru dan disitu dijadikan pusat pemerintahan RI sebagai kresidenan Riau. Abdul Malik resmi ditunjuk sebagai Residen Riau. Dan dilengkapi dengan personil lainnya. Seterusnya dibentuk pula KNI dengan ketuanya R.Yoesoef Soeryaatmadja. Pada tahun 1947 R.M. Utoyo diangkat sebagai Residen Riau yang baru.

Pekanbaru menjadi kabupaten dengan dua kecamatan: Kota Pekanbaru dan Luar Kota Pekanbaru dan sebagai bupati ditunjuk Datuk wan Entol yang selanjutnya digantikan oleh Datuk Wan Abdurrakhman. Pekanbaru ditetapkan menjadi daerah otonomi disebut Haminte atau Kota B melalui kpts tgl.17 Mei 1946 No.103.

Selanjutnya berdasarkan Penetapan Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri tgl.28 Nopember 1947, No.13/DP yang menetapkan batas-batas Kota B : sebelah Utara adalah sungai Siak, sebelah Selatan adalah Sungai Nyamuk, sebelah timur adalah Sungai Sail dan sebelah barat adalah sungai Air Hitam. Luas Kota Pekanbaru adalah 19.815 KM. Pada masa agresi II Pekanbaru dijadikan kota terbuka dan rakyat diungsikan. Pekanbaru diduduki oleh Belanda sejak 4 Januari 1949 sampai dilaksanakannya penyerahan kedaulatan ke pemerintah RI pada 27 Desember 1949, yaitu dari GTBA Claubitz kepada Bupati meliter Datuk Wan Abdurrakhman dan sejak tgl tsb. kembalilah pemerintahan RI di Pekanbaru.

7. Pekanbaru sebagai kota kecil-Kotapraja

Berdasarkan UU No.22/1948 dan Pekanbaru ditetapkan sebagai Kota Kecil menurut UU No.2 tahun 1956 dilingkungan Kabupaten Kampar dan batasnya dipertegas kembali sebagaimana ditetapkan oleh Penetapan Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri No.13/DP 17 Mei tahun 1947 di atas.

Status Pekanbaru diubah menurut UU No.8 tahun 1956 dan keluarlah UU No.1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dengan UU ini status Pekanbaru berubah menjadi Kotapraja dan menurut UU No.18 tahun 1965, yo UU No.5 tahun 1974 status Pekanbaru berubah menjadi kotamadya.

8. Pekanbaru menjadi ibu Kota Provinsi Riau, dalam status Kotamadya, Kota Besar / Bandaraya (Metropolitan)

Perjuangan rakyat Riau untuk menjadikan Riau sebagai provinsi daerah otonomi swatantra tingkat I sejak tahun 1954, dan puncaknya diselenggarakannya Kongres Rakyat Riau di Pekanbaru 31 Januari s/d 2 Februari 1956 memutuskan supaya Riau dijadikan provinsi Otonom. Perjuangan itu berhasil dengan ditetapkannya UU Darurat RI No.19 tahun 1957 tgl 9 Agustus 1957 dan diundangkan tgl 10 Agustus 1957 dalam Lembaran Negara No.75. Kondisi RI yang darurat akibat terjadinya PRRI/Permesta, Riau Daratan mengalami kondisi darurat pula.

Realisasi pembentukan provinsi Riau diselenggarakan sejak 5 Maret 1958 yaitu dilantiknya Mr S.M. Amin sebagai Gubenur Riau pertama di Tanjung Pinang. Pekanbaru dapat diduduki oleh pasukan tentara pusat pada 12 Maret 1958 dibawah pimpinan Kaharuddin Nasution. Sesuai Kawat Mentri Dalam Negeri No.15/15/6 kepada Gubernur Riau tentang meminta Dewan Penasehat Gubenur Riau segera memberikan pertimbangan kepada Mendagri tentang pemindahan ibu kota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru.

Berdasarkan kawat itu Gubernur menetapkan Panitia untuk menyelidiki pemindahan ibukota tsb dengan kpts tgl.22 September 1958 No. 21/03-D/58. Dalam kpts itu ditetapkan sebagai Ketua Wan Ghalib, Wakil Ketua Sunipahar, Sekretaris T.Mahmud Anzam dan dilengkapi beberapa orang anggota. Hasil dari tugas panitia itu setelah dibahas di kantor Menteri Dalam Negeri, maka keluarlah kpts Mendagri tentang penetapan Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau pada tgl 20 Desember 1958 No.52/1/44-25.

Pelaksanaan pemindahan baru dapat direalisasikan secara berangsur-ansur sejak Februari 1960 dan status Pekanbaru menjadi Kotamadya. Sebagai perubahan status Pekanbaru itu diadakan pembenahan administrasi yaitu dibentuknya dua kecamatan: Senapelan dan Kecamatan Lima Puluh dan pada tgl 26 Agustus 1961 dibentuk DPRDGR di Pekanbaru. Jabatan Wali Kota diserahkan kepada Tengku Bey.

Berdasarkan kpts Gubernur Riau No.55/1999 tgl 21 Oktober 1999 Pekanbaru menjadi 50 kelurahan. Berdasarkan Perda no.3 tahun 2003 Pekanbaru dimekarkan dari 8 kecamatan menjadi 12 kecamatan. Menurut Perda no.4 tahun 2003 kelurahan dimekarkan menjadi 58 kelurahan. Pada tahun 1966 diadakan lagi penyempurnaan administrasi pemerintahan Pekanbaru. Pekanbaru dibagi 6 kecamatan dan 15 kepenghuluan dan dibagi lagi dengan 92 RK dan 592 RT. Luas kota menjadi 62,96 Km2. Menurut PP 19 tahun 1987 luas kota Pekanbaru menjadi 447,50 Km2 dan pengukuran ulang oleh BPN luas kota Pekanbaru menjadi 632,26 Km2 (1988).

Perkembangan penduduk Pekanbaru dari 1950 sebanyak 16.413 jiwa, 25.054 jiwa (1955), 63.407 jiwa (1960),82.500 jiwa (1965),132.068 jiwa (1970), 151.650 jiwa (1975), 169.588 jiwa (1978), dan tahun 2005 sebanyak lebih 700.000 jiwa dengan luas daerah seluas 632,26 Km2. Menurut sensus bahwa prosentase penduduk menurut etnis adalah Melayu (26,1%), Jawa (15,1%), Minangkabau (37,7%), Batak (10,8%), Banjar (0,2%), Bugis (0,2%), Sunda (1,0%) dan suku lainnya (8,8). Penduduk menurut Agama : Islam (90,0%), Kristen (4,2%), Katolik (2,3%), Hindu (0,3%) dan Budha (3,1%). Tingkat pendidikan penduduk Pekanbaru terdiri atas : berpendidikan SLTA (40,79%), berpendidikan SLTP` (22,09%), PT relatif masih kecil. Umur 10 th yang tidak berpendidikan (10,40%) dan penduduk miskin di Pekanbaru tahun 2004 (Balitbang Riau) sebanyak 76.841 jiwa.

Berdasarkan kondisi di atas bahwa Pekanbaru dapat dikatakan sebagai kota di dunia yang pertumbuhannya sangat cepat.

III. Kebudayaan Melayu dengan berbagai Unsurnya

1. Pengertian

Pengertian Kebudayaan Melayu adalah hasil cipta, rasa, karsa dan karya orang Melayu.Melayu ialah nama sub ras yang datang dari darata Cina Selatan dan bersebar dari pulau Pas di timur (Pasifik) ke barat sampai Madagaskar, dari utara di Formosa (Taiwan) sampai ke Selandia Baru diselatan. Sub ras ini dikenal juga sebagai Proto Melay (Melayu Tua), Deutro Melay (Melayu Baru), mereka menggunakan bahasa Melayu. Melayu juga nama kerajaan di Jambi yang berdiri sekitar tahun 644/645 M.

2. Ciri-ciri Orang Melayu

Ciri-ciri Orang Melayu (T.Luckman Sinar, 2002) : Islam, cerdik, sangat pintar, sangat sopan, menggunakan bahasa Melayu. Orang Melayu menggunakan bahasa Melayu dan adat Melayu. Ciri-ciri Melayu setelah Islam dianut oleh Orang Melayu yaitu : Agama Islam, adat-resam Melayu, bahasa Melayu.

3. Unsur-unsur kebudayaan Melayu

Kebudayaan Melayu unsur-unsurnya merujuk unsure kebudayaan universal yaitu: Sistem mata pencaharian (ekonomi), Sistem kekuasaan/pemerintahan (Politik), sistem kekerabatan-organisasi (sosial), sistem pengetahuan dan teknologi, bahasa, religi dan kesenian.

4. Nilai-nilai kebudayaan Melayu

Kebudayaan Melayu mengandung pula nilai-nilai: religius, yuridis, politis, sosial, ekonomis, estetis, dan nilai etis. Nilai-nilai Melayu dalam pembangunan: keterbukaan, kemajemukan, persebatian, tenggang-menenggang, kegotongroyongan, senasib-sepenangungan, malu, bertanggung jawab, adil dan benar, berani dan tabah, arif dan bijaksana, musyawarah dan mufakat, memanfaatkan waktu, berpandangan jauh ke depan, rajin dan tekun, hemat dan cermat, amanah, ilmu pengetahuan, taqwa kepada Allah, dan nilai lainnya: kemandirian, tahu diri, rendah hati, rela berkorban, pemurah, sabar, lapang dada, suka mengalah, tidak serakah, dsb. Nilai-nilai kepemimpinan Melayu yang dituakan oleh kaumnya, yang diberikan kepercayaan, banyak tahunya, banyak tahannya, banyak bijaknya, banyak cerdiknya, banyak pandainya, banyak arifnya, mulia budinya, banyak relanya, banyak ikhlasnya, banyak taatnya, mulia duduknya, banyak sadarnya, banyak tidaknya, dsb.

5. Seni Bina Melayu

Kebudayaan Melayu memiliki keragaman Seni Bina (seni Bangunan atau arsitektur tradisional), berupa bangunan rumah kediaman, balai pertemuan, rumah ibadah, istana sultan, dsb. Bentuk bangunan ini kaya dengan ragam bentuk dan ragam hias yang mencerminkan keperibadian Melayu. Ragam hias bangunan Melayu telah disepakati mempunyai bentuk atap kajang atau atap limas dan memiliki Selembayung pada atap itu. Bangunan itu dihiasi dengan ukiran yang bermotifkan hewan/fauna atau tumbuhan/flora, alam seperti ukiran itik pulang petang, keluk pakis, pucuk rebung, dan awan berarak, dsb.

Sejak tahun 1980-an bangunan di kota provinsi dan kabupaten diharuskan memiliki cirri kemelayuan. Perda no.14 tahun 2000 adalah tentang izin bangunan di kota Pekanbaru harus berpihak kepada arsitektur Melayu.

6. Seni Busana

Busana Melayu untuk laki-laki berupa teluk belanga, gunting cina atau tulang belut yang warnanya sama dengan celana dan pemakaiannya disertai kain samping yang biasanya dari tenunan songket yang terkenal tenunan Siak atau Terengganu. Tutup kepala biasanya disebut kopiah atau songkok. Busana perempuan berupa kebaya labuh, kebaya panjang, dan diikuti dengan selendang dsb.

7. Seni Tari-Suara-Musik-Sastra

Seni Tari Melayu seperti tari zapin, joget, serampang. Seni suara Melayu seperti irama Melayu Sri Mersing, Laksamana Raja Dilaut, Dondang Sayang, dsb. Seni Musik seperti irama pengiring zapin, joget, serampang, irama gambus, irama biola, gendang, gong, breng-breng,dsb. Seni sastra seperti puisi, syair, hikayat, pantun, bidal, jampi dsb. Prosa seperti karya Raja Ali Haji, Hikayat, gurindam, syair.dsb. Karya Suman Hs: Mencari pencuri anak perawan, Kawan bergelut, karya Sariamin-Salasih Silaguri : Kalau Tak Untung, dsb.

IV. Peluang dan Tantangan Pekanbaru menjadi pusat Kebudayaan Melayu pada 2021

a. Peluang

Peluang atau kemudahan yang dapat ditunjukkan dalam mencapai Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu dengan dinamikanya kebudayaan itu sebagaimana tertera berikut ini. Kebudayaan Melayu dengan segala ciri, sifat, dan nilai-nilai yang dikandungnya memberikan peluang yang besar bagi pendukungnya dalam mewujudkan kebudayaan itu. Kebudayaan itu, baik sebagai keperibadian manusianya maupun keperibadian masyarakat pendukungnya serta menjadi profil dari daerah yang telah menjadikan kebudayaan itu sebagai pribadinya.

Bagi Kota Pekanbaru untuk dijadikannya Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2021 berdasarkan ketentuan dalam Perda Kota Pekanbaru tentang Visi seperti disebutkan diatas dan misinya yaitu :
Menciptakan dan mengembangkan iklim usaha yang kondusif dengan berbasis ekonomi kerakyatan;
Menyediakan sekolah dan lembaga pendidikan yang unggul didukung tenaga profesional, sehingga dapat menghasilkan SDM berkualitas, mandiri, kreatif, dan inovatif;
Melestarikan dan membina kebudayaan melayu yang mampu mengikuti perkembangan zaman dgn tetap mempertahankan jati diri sehingga tercipta masyarakat maju, mandiri, mampu bersaing;
Terpenuhinya kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat; dan
Menciptakan masyarakat imtaq melalui pendidikan agama dan memfungsikan lembaga-lembaga keagamaan sebagai wadah pembinaan umat.

Realisasi dari visi dan misi itu telah dikeluarkan perda tentang izin bangunan di kota Pekanbaru sebagaimana dikemukakan di atas. Tidak dapat dipungkiri bahwa Pekanbaru sebagai kota yang berawal dari negeri Senapelan/Payung Sekaki yang mendukung budaya Melayu, mereka bertekad meneruskan nilai budaya Melayu yang telah dan akan didukung masyarakatnya yang menjadi pewaris dari Negeri Melayu yaitu Siak Sri Indrapura.

Tidak pula dapat dihindari bahwa Pekanbaru sebagai negeri yang penduduknya majemuk sudah tentu mendapat akulturasi budaya dari kelompok masyarakat yang berdomisili di kota ini yang memiliki budaya asalnya pula. Untuk tidak akulturasi itu terlalu dominan maka visi dan misi tsb di atas perlu menjadi ukuran dalam membina dan memelihara budaya asal di negeri ini.

Untuk itu pula telah ditetapkan ketentuan-ketentuan yang mengacu kepada lestarinya kebudayaan Melayu itu. Tambahan pula bahwa Pekanbaru sebagai ibu kota provinsi Riau yang telah pula membuat ketentuan-ketentuan untuk tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Melayu, seperti adanya edaran Gubernur untuk memakai busana Melayu pada hari Juma’t bagi karyawan, murid, siswa dan hari besar, adanya edaran supaya papan nama kantor/lembaga menuliskan huruf Arab Melayu di bawah tulisan latin yang ada pada nama kantor atau lembaga itu.

Juga sudah ditradisikan pula menyampaikan pidato atau sambutan supaya diikuti dengan pantun-pantun. Kegiatan pertemuan budaya telah diusahakan untuk membahas materi yang bernuansa Melayu. Sudah diusahakan supaya karya tulis Melayu di pelajari oleh setiap peserta didik dalam proses belajar di sekolah atau di lembaga informal, dengan bahan utama Tunjuk Ajar Budaya Melayu.

Banyak lagi faktor yang menunjang makin tumbuhnya peluang bagi Pekanbaru menjadi pusat Kebudayaan Melayu pada 2021 yang akan datang.

b.Tantangan

Laju pertumbuhan akibat migrasi spontan relatif tinggi dan menimbulkan pengangguran, kemiskinan, pemukiman kumuh, kerawanan sosial, serta menjamur pedagang kaki lima;
Pertumbuhan titik rawan banjir yang belum dapat ditangani secara menyeluruh;
Penambahan ruas jalan dalam kota yg belum seimbang dengan lajunya pertumbuhan kendaraan bermotor sehingga menimbulkan kemacetan;
Rendahnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi;
Dana perimbangan disalurkan tidak tepat waktu sehingga sulit memenuhi jadwal pelaksanaan kegiatan;
Keterbatasan dana APBD sehingga banyak usulan masyarakat yang belum tertampung;
Belum kondusifnya situasi keamanan dan memerlukan peran serta masyarakat;
Rendahnya partisipasi dan kesadaran masyarakat terhadap kepemilikan tanah dalam rangka menunjang pembangunan fasilitas umum dan sosial;
Arus globalisasi yang cukup deras menimbulkan pengaruh besar kepada penghayatan kebudayaan Melayu, terutama oleh generasi muda;
Riau dan Pekanbaru terletak dipersimpangan jalan dari selatan ke utara, dari barat ke timur;
Penanaman investasi kurang peduli dengan kebudayaan tempatan;

V. Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan


Kota dan dinamika kebudayaan, kasus Kota Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu dapat dirujuk bahwa perkembangan Pekanbaru dari suatu kampung / kebatinan Senapelan yang masyarakatnya pendukung kebudayaan Melayu yang telah berlangsung sejak abad ke 15 M dan sampai tahun 2006 ini, walaupun diselingi dengan pengaruh dari budaya etnik lainnya, Belanda, Jepang, dan terakhir ini globalisasi senantiasa masih terjadi persebatian masyarakat untuk tetap menjadikan Melayu sebagai keperibadiannya. Mengingat Pekanbaru tumbuh dari jati diri kerajaan Melayu tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai itu akan tetap bersemi dihati generasinya sepanjang masa. Tambahan lagi kepedulian pemerintah tetap memprogramkannya dalam pembangunan.

Kondisi itu akan makin kuat apalagi telah ditetapkannya Perda yang menetapkan visi dan misi Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu pada 2021. Demikian pula visi Pemda Provinsi Riau yang ditetapkan dalam Perda No. 36 tahun 2001 bahwa Riau sebagai pusat perekonomian dan pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara pada 2020.

Peluang untuk terwujudnya visi Pekanbaru itu akan sangat tergantung kepada implementasinya sebagaimana yang digariskan oleh Pemda Pekanbaru seperti Penerbitan Tunjuk Ajar Budaya Melayu bekerjasama dengan LAMR (terutama Tunjuk Ajar Berbusana, Arsitektur bangunan Melayu, dsb), menyelenggarakan event budaya Melayu (petang megang, ziarah kubur, festival lampu colok), membuat monumen bercirikan Melayu, menggalakkan tenun songket dan masakan khas Melayu. Pemerintah mewajibkan bangunan mengandung arsitektur Melayu di setiap bangunan pemerintah, swasta dan ruko-ruko.

Tantangan dalam mewujudkan Pekanbaru sebagai pusat Kebudayaan Melayu relatif cukup banyak.Namun, berkat kejelian dan ketelitian masyarakat dan pemerintah tantangan itu akan dapat diatasi khususnya diatur dalam Perda. Jika perda itu dapat diimplementasikan bahwa pada masanya Pekanbaru akan menjadi kota sebagai Pusat Kebudayaan Melayu. Pekanbaru sebagai pusat kebudayaan Melayu memerlukan sumber daya manusia dan sumber dana.Urunan dana dari pemerintah provinsi untuk maksud itu perlu dituangkan dalam APBD provinsi dan Kota Pekanbaru itu sendiri.

Saran-Saran

Mengingat pertumbuhan dan perkembangan kota sejalan dengan dinamika kebudayaan maka perencanaan pembangunan kota hendaknya tetap memperhitungkan perkembangan dinamika kebudayaan Melayu.

Dinamika Kebudayaan Melayu relatif sejalan dengan keperluan masyarakat di suatu daerah/kota,maka pembinaan dan pemeliharaan kebudayaan hendaknya selalu menjadikan rokh kebudayaan Melayu menyinari proses pembangunan dan tercermin dalam pisik dan non fisik wajah kota dan nurani masyarakatnya.

Untuk konsistennya pelaksanaan pembangunan dengan perkembangan dan tuntutan zaman maka master plan pembangunan itu hendaknya selalu mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan Melayu.

Untuk terlaksananya pembangunan itu perlu adanya dukungan sumber daya dan sumber dana maka peng-anggaran dalam APBD senantiasa harus sesuai keperluannya.

Semua perencanaan akan dapat direalisasikan dan itu bergantung kepada iktikad baik dari semua pihak tanpa adanya penyimpangan-penyimpangan yang mengganggu realisasi itu.

VI. Penutup

Pada bagian penutup ini perlu kiranya dikemukakan benang merah materi makalah ini yaitu proses tumbuhnya kota Pekanbaru dari sebuah perkampungan suku Senapelan, berkembang menjadi ibu kota kerajaan Siak, ibu kota provinsi Pekanbaru, dan seterusnya menjadi kresidenan, ibu kota provinsi meliter Jepang, dan masa kemerdekaan menjadi kotapraja, kotamadya, kota dan sekarang menjadi kota besar/Bandaraya atau metropolitan.

Akibat perkembangan Pekanbaru relatif cepat, baik dari segi wilayahnya maupun jumlah penduduknya dan diikuti oleh perkembangan bangunan, dari bangunan kampung sekarang sudah berkembang dengan bangunan modern tetapi selalu dengan simbol Kemelayuan. Upacara dan acara Kemelayuan sudah dikembangkan baik dari segi busana, seni bina, seni suara, musik, sastra maupun adat resam Melayu mulai diperagakan, termasuk tenunan songket, makanan khas Melayu. Kedai-kedai makanan Melayu sudah mulai pula tumbuh di Pekanbaru. Aksara Arab Melayu mulai pula digunakan pada nama-nama kantor atau lembaga, dan ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu perlu disosialisasikan di tengah-tengah masyarakat.

Apabila program mensosialisasikan itu berlangsung terus di daerah, serantau dan antar bangsa, termasuk di negara tetangga, kita yakin implementasi visi dan misi Riau dan Pekanbaru akan memungkinkan terlaksana pada waktunya. Akhirnya dengan segala harapan, kiranya semua pihak dapat memberikan perhatian kepada pembahasan ini dan jika terdapat berbagai kekurangan dan ketidak sempurnaan, semoga dapat diberikan saran dan usul demi kesempurnaan tulisan ini.

Terima kasih dan maaf atas segala kekhilafan, wabillahi taufiq walhidayah.

Pekanbaru, 23 Oktober 2006
Hormat kami,

Suwardi Ms dan Isjoni, MSi

0 komentar:

Posting Komentar

 
Kubah Senapelan © 2008 Design Template by Muhammad Thohiran